Breaking News

SASTRA Abadikan Catatan Ziarah Imamat, Pastor Stef Dampur Hasilkan Buku Antologi Puisi 'Jejak-Jejak Jiwa Bijak' 20 Jul 2019 16:37

Article image
Penulis Buku Antologi Puisi "Jejak-jejak Jiwa Bijak', Pater Stef Dampur, SVD (Ephang D. Yogalupi). (Foto: Dokrpi Ephang)
Setiap pengalaman dalam ruang dan waktu merupakan 'guru besar' menuju kebijaksanaan hidup guna memaknai kesatuan (unum), kebenaran (verum), kebaikan (bonum) dan keindahan (pulchrum)."

MAUMERE, IndonesiaSatu.co-- "Menulis adalah  kristalisasi refleksi atas perjalanan hidup, karya, relasi, komunikasi, juga pengalaman nyata sebagai pribadi di tengah komunitas sosial. Setiap pengalaman dalam ruang dan waktu merupakan 'guru besar' menuju kebijaksanaan hidup guna memaknai kesatuan (unum), kebenaran (verum), kebaikan (bonum) dan keindahan (pulchrum)."

Demikian diungkapkan oleh Pastor Stefanus Dampur (Ephang D. Yogalupi) saat memberi kesan atas buku perdana, kumpulan puisi yang dihasilkannya.

Dalam sebuah kesempatan obrolan di balik 'Bukit Tinggi' Ledalero, Maumere, Flores, akhir bulan lalu, Misionaris SVD kelahiran Golo Waso, Lengko Ajang, Manggarai, 12 April 1980 ini menuturkan bahwa segala dinamika kehidupan yang dilaluinya selama proses pendidikan menuju imamat, termasuk tugas pelayanan sebagai misionaris SVD, selalu membawa inspirasi baru, yang tidak jarang terekam dalam diary harian bahkan diekspose ke media sosial.

"Saya selalu menemukan inspirasi yang berbeda di balik setiap dinamika, termasuk saat menjalani 'jabatan pelayanan' sebagai imam misionaris bersama umat. Realitas konkrit selalu memperkaya, bahkan menuntut alasan reflektif untuk menjawabi segala 'prahara' yang tengah mengguncang. Saya berani menyebut, sekolah tertinggi adalah universitas kehidupan," kata Pastor Ephang yang kini diangkat menjadi anggota Komisi Penulisan Sejarah Provinsi SVD Ende ini.

Melalui 'Jejak-Jejak Jiwa Bijak' yang juga menjadi 'kado' kenangan 10 tahun tahbisan Imamatnya (2009-12 Agustus 2019), Pastor Ephang menuturkan bahwa setiap titik refleksi dan pengalaman hidup selalu menjadi gairah baru untuk terus menulis dan menulis.

"Ada 'Sang Jejak' yang selalu menjadi kompas tujuan. Ia ada pada waktu, tempat dan orang yang bersedia menerimanya. Tugas pujangga hanyalah memastikan bahwa jejak kebijaksanaan itu tetap dilestarikan," tulisnya dalam pengantar.

Meski baru menghasilkan karya Perdana, mantan Pastor Paroki Salvatoris Resurgentis Boba, Kevikepan Bajawa ini memberi motivasi kepada generasi muda untuk pandai menggunakan teknologi secara positif, inovatif dan produktif.

"Generasi muda sekarang hidup di era serba instant dengan perkembangan informasi dan teknologi yang kian canggih. Jika dimanfaatkan secara positif, maka akan banyak hal yang dapat diperoleh. Maknai setiap waktu dengan hal-hal yang berguna dan produktif hingga mampu menemukan jati diri. Tentu saja kita harus berani untuk mulai sesuatu yang kita yakin dapat memberi manfaat untuk banyak orang. Menulis hanya merupakan salah satu pilihan," ungkapnya memotivasi.

Melawan Netralitas

Dalam Buku setebal 132 halaman Penerbit Ledalero ini, Pastor Juang Orong, SVD dalam catatan prolog 'melawan netralitas' menyebut puisi menjadi tema yang bisa dikupas khalayak ramai, telah selumrah sembako dan sirih pinang, dan seperti politik, agama, korupsi, kebenaran, seksualitas, jender, identitas, kesalehan, dosa, kafir-nonkafir.

"Puisi bukan hanya milik penyair semisal Chairil Anwar, WS Rendra, Joko Pinorbo, John Dami Mukese, Wiji Tukul, melainkan milik semua. Semua merasa berhak jadi penyair. Bagi yang terlanjur menafikan esensi puisi, determinasi nama penulis menjadi opsi menyukai puisi. Namun, 'Jejak-Jejak Jiwa Bijak' justru menawarkan persepsi berbeda; dari puisi, penyair dikenal," tulis Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia STFK Ledalero ini.

Pastor Juan Orong menyinggung bahwa yang hendak diabadikan oleh penyair dalam buku perdananya tersebut bukan hanya memoar, melainkan testimoni bersambung mengenai masih adanya penyair dari Lengko Ajang, Manggarai Timur, tempat penyair religius ternama, John Dami Mukese berasal.

"Jika di dalam puisi-puisi John Dami Mukese kita menemukan sentuhan melankolis-religius-emosional, di hadapan puisi Stefanus Dampur kita menghadapi cibiran, candaan, gugatan, juga doa dan nasihat yang disampaikan secara lugas. Denganya, penyair menjelaskan posisinya di hadapan setiap pilihan dan realitas," tulis Pastor Juan.

Pastor Juan, pada bagian akhir dari prolog juga menyentil sikap dan mental para misionaris yang cenderung mencari rasa aman dengan paradigma yang 'mempercayai apa yang ingin ia percaya'.

"Sebab sesungguhnya, ruang antara perintah biblis 'katakan ya jika ya, tidak jika tidak' adalah milik para pengecut yang kerap mencari rasa aman. Maka, jika tidak ingin dibilang pengecut, lawanlah netralitas," sentil Pastor Juan.

Epi(logos)

Sementara Pastor Fredy Sebho, SVD dalam catatan epilog atas buku antologi puisi tersebut menulis, puisi mesti lahir dari gemuruh gairah jiwa membuncah, lalu berakhir pada ekstase yang tak pernah surut.

"Puisi-puisi Epang D. Yogalupi adalah jenis tembang yang muncul dari luka jiwa yang berdarah dan bibir yang tersenyum sehingga tak luput dari getar-getar emosi. Penyair menulis puisi dari rahim sunyinya yang senyap, dibesarkan dalam pangkuan imajinya yang tenang dan tumbuh dalam sentuhan logikanya yang apik," tulis Pastor Fredy.

Dosen tetap STFK Ledalero ini memberi kesan bahwa 'Jejak-Jejak Jiwa Bijak' adalah jenis teriakan jiwa yang patetik namun mempesona.

"Puisi bukan saja sebagai medium ekspresi segala perasaan, tetapi juga serentak sebagai pesan tentang kehidupan," tulisnya.

Pastor Fredy, penulis yang telah menghasilkan beberapa karya buku ini memantik gairah penyair, Pastor Ephang untuk terus berjalan dalam keyakinan menjadi penyair.

"Ephang D. Yogalupi, pergilah terus ke laut yang sunyi, laut yang sepi, sebab di sana ada nyanyian yang menyeruap dari luka berdarah dan bibir yang tersenyum. Dalam sunyi dan sepi yang menghening, kata menantimu," tulis Pastor Fredy.

--- Guche Montero

Komentar