Breaking News

POLITIK Airlangga Hartarto Ingkar Janji, Golkar Kembali Terancam Pecah 18 Jan 2020 14:38

Article image
Tim Sembilan memberikan keterangan pers di Jakarta, Jumat (16/1/2020). Cyrillus Kerong (sedang berbicara) didampingi Junir Viktus Murin, Mahadi Nasution, dan Fransiskus Roi Lewar. (Foto: bisnis.com)
Komposisi kepengurusan periode 2019-2024 "tidak mencerminkan sama sekali komitmen kebersamaan dan suasana rekonsiliasi" yang dimediasi Aburizal Bakrie dan Luhut Binsar Panjaitan.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co – Baru sebulan lalu sukses menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) X, Partai Golkar terancam pecah. Kader Golkar pendukung Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang sudah legowo menerima keputusan Bamsoet untuk mundur dari pencalonan dirinya menjadi ketua umum, kini kembali dibuat kecewa. Pasalnya, Kubu Airlangga Hartarto (AH) tidak mengakomodir kader pendukung Bamsoet dalam  komposisi Kepengurusan DPP Partai Golkar periode 2019-2024. Padahal, pengunduran diri Bamsoet dari bursa ketua umum adalah hasil rekonsiliasi kedua belah pihak.

 "Komposisi kepengurusan DPP Partai Golkar periode 2019-2024 sebagaimana yang telah diumumkan kepada publik, tidak mencerminkan sama sekali komitmen kebersamaan dan suasana rekonsiliasi yang telah dibuat oleh Airlangga Hartarto," kata Jubir Tim Sembilan, Viktus Murin kepada wartawan di, Jakarta, Jumat (17/1/2020).

Tampak hadir pada keterangan pers antara lain Cyrillus Kerong (koordinator), Viktus Murin (jubir), Mahadi Nasution (anggota), dan Fransiskus Roi Lewar (anggota). Anggota Tim 9 yang tidak sempat hadir yakni Fredrik Lanitaman, Sultan Zulkarnain, Gaudens Wodar, Immanuel Blegur, dan, Rizki.

Cyrillus Kerong, dalam kata pengantarnya menjelaskan bahwa Tim 9 sebelumnya adalah tim sukses Bamsoet. Namun dengan berakhirnya Munas X, dengan terpilihnya AH menjadi Ketua Umum Partai Golkar, Tim 9 akan tetap berkiprah sebagai kelompok kajian yang bisa menyumbang pemikiran kritis dan berkontribusi bagi kemajuan Partai Golkar.

Ketika ditanya wartawan, apakah sebelumnya sudah ada deal khusus sehubungan dengan persentase jumlah kader dalam badan pengurus dari dua pihak, Cyrillus mengatakan bahwa komposisi mestinya mencerminkan sebuah rekonsiliasi.

“Yang terjadi saat ini, hanya empat kader pendukung Bamsoet yang masuk dalam komposisi pengurus yang terdiri dari lebih dari 100 orang. Itu artinya apa?” ujar Cyrillus.

Menanggapi Munas X Partai Golkar, yang berlangsung pada 3 - 6 Desember 2019 lalu, khususnya setelah munculnya keputusan mengenai komposisi Kepengurusan DPP Partai Golkar periode 2019-2024, Tim 9, antara lain mengapresiasi pilihan sikap politik Bamsoet yang lebih memilih untuk menjaga keutuhan, kebesaran, dan kejayaan Partai Golkar, selaras dengan komitmen kebersamaan dan rekonsiliasi dengan Airlangga Hartarto.

Kedua, komposisi kepengurusan periode 2019-2024 "tidak mencerminkan sama sekali komitmen kebersamaan dan suasana rekonsiliasi" yang dimediasi dan disaksikan oleh Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie dan Luhut Binsar Panjaitan, seorang kader senior Partai Golkar yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator dalam Kabinet Indonesia Maju. Komitmen rekonsiliasi itu di antaranya adalah mengakomodir semua pendukung Bamsoet dalam kepengurusan DPP Partai Golkar. “Inkonsistensi politik AH ini dengan demikian kami pandang telah mencemarkan kewibawaan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakriez dan citra Menko Luhut Binsar Panjaitan.”

Ketiga, Tim 9 menyesalkan dusta politik dan atau kemunafikan politik, dengan hanya memasukkan "empat orang" dari hampir 100 orang tim inti pendukung Bamsoet dalam kompetisi pemilihan ketua umum pada Munas X.

Keempat, rezim politik AH melakukan pelanggaran konstitusi organisasi (AD/ART Partai Golkar) secara konsisten, bahkan cenderung mengangkangi secara vulgar perintah AD/ART mengenai rekruitmen kepengurusan DPP, sekaligus tidak mengindahkan prinsip-prinsip kriteria kompetensi dan persyaratan PDLT (prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela).

Kelima, terdapat oknum-oknum pengurus yang tidak memenuhi ketentuan AD/ART, tetapi didudukkan seenaknya bahkan dalam komposisi kepengurusan DPP. Ada di antara pengurus yang sebelumnya bahkan bukan kader Partai Golkar. Ada oknum pengurus yang sebelumnya telah meloncat menjadi pengurus partai politik lain, tetapi kini didudukkan seenaknya sebagai Pengurus Harian DPP.

Keenam, ada pula oknum-oknum pengurus yang memiliki hubungan keluarga misalnya ayah-anak, kakak-adik, ipar-ponakan dan lain sebagainya. Kondisi ini berpotensi merusak tatanan Partai Golkar sebagai partai moderen dan demokratis, menjadi partai yang keropos fungsi dan perannya, akibat hantu politik nepotisme dan politik dinasti. 

Ketujuh, rezim politik AH telah merusak psikologi kebersamaan dan keutuhan di lingkungan seluruh organisasi pendiri yakni SOKSI, Kosgoro, dan MKGR, sebab ketiga organisasi ini merupakan sumber utama rekruitmen kader dalam kepemimpinan partai. Tetapi, pada kenyataannya, dalam komposisi kepengurusan DPP hasil Munas X Tahun 2019 ini, keberadaan kader-kader dari SOKSI, Kosgoro, dan MKGR tidak tergambar secara merata dan representatif dalam komposisi kepengurusan DPP. Sebaliknya, terkesan kuat, rekruitmen kepengurusan hanya didasarkan pada sentimen perkoncoan dan atau kronisme di antara elite-elite rezim politik AH.

kedelapan, mengingatkan AH dan rezim politiknya untuk sesegera mungkin memulihkan situasi keterbelahan di dalam tubuh Partai Golkar, sebagai dampak dari komposisi kepengurusan DPP periode 2019-2024. Pemulihan situasi internal partai ini merupakan hal yang bijaksana dalam rangka merawat keutuhan organisasi Partai Golkar, sehingga dapat bekerja secara optimal demi mencapai kemenangan Partai Golkar pada Pemilu 2024.

Terakhir, mengingatkan seluruh slagorde dan atau keluarga besar Partai Golkar untuk berani mengkritisi ketidakberesan yang dilakukan oleh AH dan rezim politiknya, demi mencegah terjadinya perpecahan yang nyata dalam organisasi Partai Golkar.

“Sungguh sangat disayangkan bahwa Partai Golkar sebagai aset politik bangsa dalam menjalankan pembangunan nasional, pada akhirnya harus pecah atau terbelah akibat dari kesalahan fatal dan berulang-ulang dalam hal tata kelola organisasi,” tegas Viktus. 

--- Simon Leya

Komentar