Breaking News

POLITIK Akademisi: Stop Gunakan Bahasa Agama dalam Pilkada 31 Jan 2018 07:54

Article image
Wakil Rektor III Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Dr Waryono Abdul Ghafur. (Foto: Ist)
Isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) paling mudah digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memecah belah masyarakat karena paling laku.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Perhelatan Pilkada Serentak 2018 sebaiknya tidak digunakan sebagai ajang politisasi agama. Dengan kata lain, pilkada adalah momen adu program, bukan adu bahasa agama.

Demikian anjuran Wakil Rektor III Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Dr Waryono Abdul Ghafur dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi IndonesiaSatu.co di Jakarta, Selasa (30/1/2018) malam.

"Kita tidak perlu menggunakan bahasa agama dalam pilkada nanti karena sangat sensitif dan takutnya bisa disalahgunakan oleh kelompok tertentu atau kelompok radikal untuk memecah belah masyarakat," ungkapnya.

Menurut Ghafur, orang akan mudah tersentuh dan mungkin juga akan sangat emosional ketika merasa agamanya dihina, dicaci maki, dan sebagainya. Pengurangan penggunaan bahasa agama juga bagian dari cara untuk memelihara kondisi sosial.

"Jadi, hindarilah menggunakan bahasa agama, tidak usah memakai dalil macam-macam, misalnya mengatakan tidak usah memilih orang yang beda agama dari dalil ini, atau menyebut bahasa agama untuk dialamatkan kepada orang lain yang beda agama, tentunya itu tidak pas," tegasnya.

Haryono menambahkan bahwa isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) paling mudah digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memecah belah masyarakat karena paling laku. 

"Kalangan elit pun sebenarnya juga paham bahwa kalau sudah pakai isu SARA itu 'sumbu pendeknya' itu sangat mudah dan enak. Itu sebenarnya yang harus dihindari kalangan elit ini," ujarnya.

Menurutnya, agama pun melarang penggunaan isu SARA untuk memecah belah. Namun, karena kepentingan pragmatis masyarakat sendiri juga sudah lupa terhadap hal seperti itu.

"Jadi, bagi saya baik kalangan elit maupun masyarakat harus sama-sama bisa menahan diri. Yang elit jangan memanfaatkan atas nama masyarakat dan yang masyarakat pun juga jangan ikut-ikutan serta merta dengan kalangan elit ini," ucapnya.

Dikatakannya, pergantian kepemimpinan adalah sesuatu yang biasa. Karena itu, tidak perlu dianggap terlalu serius dan membuat masyarakat terpecah belah.

"Karena ini kegiatan politik yang rutin maka kita tidak boleh memperpanjang persoalan terutama yang terkait dengan hal-hal yang membuat masyarakat terpecah. Perbedaan pilihan itu karena kita punya alasan tersendiri dan punya rasionalisasinya," bebernya.

Ia juga mengimbau masyarakat kritis terhadap tokoh-tokoh yang dianggap sebagai panutan karena bisa jadi mereka sebenarnya juga punya kepentingan. Sikap kritis juga harus diterapkan ketika menerima informasi dari media sosial dan dunia maya. 

--- Redem Kono

Komentar