Breaking News

TAJUK Apakah Negara Masih Diperlukan? 30 Nov 2018 20:44

Article image
Negara ibarat Leviathan, yang menimbulkan rasa takut. (Foto: Ist)
Membiarkan pertarungan atas nama kepentingan egoistik dalam politik adalah bom waktu yang mengembalikan ke situasi pertarungan serigala, situasi chaos.

INGIN memperoleh penjelasan alternatif tentang jawaban pertanyaan: Mengapa harus Negara? Model Negara yang sangat kuat melindas hasrat egois warganya? Berbaliklah kita pada anjuran Thomas Hobbes, seorang filsuf asal kota kecil Malmesmury di London.

Beranjak dari bekal pengalaman dan pergulatan filosofisnya, Hobbes melukiskan keadaan awal (the state of nature) manusia. Manusia adalah sebuah mesin yang antisosial. Manusia hadir sebagai serigala bagi yang lain. Dalam diri manusia, terdapat keinginan alamiah untuk memuaskan kepentingannya sendiri. Manusia bertarung satu sama lain dalam memperebutkan barang-barang yang langka, mempertahankan apa yang sudah dikuasai, dan bahkan berjuang untuk menaklukkan orang lain.

Dengan kehadiran sebagai serigala, keadaan alamiah manusia adalah keadaan perang semua lawan semua (bellum contra omnes). Manusia yang bersitegang selalu berada dalam ancaman. Semua hidup dalam hasrat ingin menghabisi yang lain. Di sinilah manusia merasa sepi, soliter, egois.

Hidup dalam ancaman mendatangkan ancaman luar biasa bagi manusia. Di sinilah muncul Negara. Karena manusia-manusia yang merasa hidupnya terancam kemudian bersepakat mendirikan sebuah Negara kuat; negara yang berusaha melindas hasrat saling mengeliminasi di antara manusia.

Di hadapan institusi bentukan itu, semua individu menyerahkan diri sepenuhnya untuk taat secara total. Perjanjian itu bukan terjadi antara individu dengan negara, tetapi antarindividu. Negara bukan mitra, melainkan buah dari perjanjian itu. Dengan demikian, terjadi peralihan dari hukum alam (ius naturalis) di mana tiap individu menjadi serigala bagi yang lain menuju undang-undang alam (lex naturalis) yang membatasi kemerdekaan alamiah setiap individu. Kesepakatan individu-individu tersebut melahirkan sosok negara absolut nan perkasa, sang Leviathan.

Hobbes menyamakan negara absolutnya dengan Leviathan, seekor binatang purba yang dituturkan dalam Alkitab, terutama kitab Ayub 41: 25. Negara menyerupai Leviathan, yakni sebagai binatang raksasa yang sangat menakutkan dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan apa saja. 

Negara sebagai Leviathan menetralisasikan dorongan-dorongan irasional dengan ancaman. Negara melegitimasi diri dengan kemampuan untuk menebarkan ketakutan pada setiap individu. Inilah negara yang memiliki kekuasaan dan kedaulatan penuh. Negara menghadirkan diri sebagai “penjinak manusia” dari keadaan alamiah yang egoistik dan eliminatif.

Tentu banyak kritik diajukan kepada Hobbes, salah satunya kekuasaan penuh Negara dapat mengantar pada otoritarianisme atau absolutisme Negara. Di mana dalam tangan pemimpin yang otoriter, Negara dapat sewenang-wenang menindas warganya.

Namun, jika “prasangka positif” diletakkan pada pemikiran Hobbes, maka kita dapat menarik salah satu pokok yang penting bagi zaman ini, yakni ketegasan Negara. Negara harus tegas untuk menindak sejumlah warga yang didorong hasrat serigalanya, hasrat egoistiknya. Negara harus membuat warganya takut bertindak irasional, bukan sebaliknya ketidakberdayaan Negara.

Dalam konteks Indonesia jelang Pilpres 2019, pemikiran Hobbes perlu menjadi catatan penting bagi Negara untuk mengambil sikap. Membiarkan pertarungan atas nama kepentingan egoistik dalam politik adalah bom waktu yang mengembalikan ke situasi pertarungan serigala, situasi chaos.

Tanpa ketegasan (baca: ketakberdayaan) terhadap kelompok-kelompok yang dipenuhi hasrat animalitas (kebinatangan), hasrat serigala, maka apakah peran Negara masih diperlukan?

Salam Redaksi IndonesiaSatu.co

Komentar