HUKUM Buntut Insiden 'Telanjang Dada', TPDI ke Biro Hukum Pemprov NTT: Pidanakan Saja Oknum Perekam dan Penyebar Video 15 May 2020 23:54
Menurut Petrus, para ibu yang 'bertelanjang dada' bisa saja melaporkan peristiwa tersebut dengan menggunakan instrumen pasal 27 ayat (1) dan pasal 45 UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE.
JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) kembali menyoroti rencana Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) cq. Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi NTT, Alex Lumba, untuk mempidanakan beberapa ibu dari Desa Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), yang melakukan aksi protes dengan membuka baju (telanjang dada, red) di depan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, rombongan Pemprov NTT
dan Bupati TTS, Egusem Piether Tahun saat mengunjungi kawasan peternakan Besipae, Senin (12/5/20).
Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, kepada media ini, Jumat (15/5/20) mengatakan bahwa rencana Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi NTT, Alex Lumba sebagai upaya mencari 'kambing hitam' (membias) dari konteks persoalan yang sebenarnya.
"Pemprov NTT cq. Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi NTT, Alex Lumba sebaiknya berkoordinasi dengan pihak Polda NTT untuk mempidanakan pihak-pihak yang telah merekam dan mendistribusikan insiden 'bertelanjang dada' sehingga menjadi viral di berbagai media sosial (medsos)," sorot Petrus.
Petrus beralasan, justru perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana penjara oleh UU adalah perbuatan mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik (rekaman video) terhadap ibu-ibu yang 'bertelanjang dada' dalam aksi protes tersebut.
"Jika hal ini dibawa ke ranah hukum (pidana), Polisi harus mencari pelaku yang medistribusikan dan/atau mentrasmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sesuai perintah UU ITE sebagai hukum positif," katanya.
Advokat Peradi ini menegaskan bahwa dasar hukumnya yakni ketentuan pasal 27 ayat (1) jo. pasal 45 UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE, di mana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana penjara antara lain, bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan /atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, diancam dengan pidana penjara maksimum 6 tahun dan denda maksimum Rp. 1.000.000.000. (satu miliar rupiah).
Dalam aksi tersebut, lanjut dia, publik punya alasan untuk mencurigai aparat yang ikut dalam rombongan Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat sebagai pihak yang melakukan pekerjaan merekam, mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya rekaman video yang mengandung muatan kesusilaan tersebut.
"Maka, Biro Hukum Pemprov NTT harus jeli melihat permasalahan secara komperehensif, karena jika tidak, maka rencana proses pidana itu justru dinilai sebagai upaya mencari 'kambing hitam'. Dan korban yang 'dikambinghitamkan' justru ibu-ibu yang 'bertelanjang dada'," timpalnya.
Padahal, lanjutnya, aksi 'bertelanjang dada' itu sendiri sebagai aksi spontanitas dan tindakan terpaksa demi memperjuangkan hak-hak mereka atas pemilikan tanah.
"Ini menjadi bagian dari tugas pendidikan politik dan dengan langkah yang paling elok sekalipun, pelakunya diduga dari aparat yang mendampingi Gubernur NTT dan rombongan," sentil Petrus.
Ia menegaskan bahwa, para ibu yang 'bertelanjang dada' dalam rekaman video yang telah beredar luas, bisa saja melaporkan peristiwa tersebut dengan menggunakan instrumen pasal 27 ayat (1) dan pasal 45 UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE.
"Karena sangat jelas bunyi UU, sebagai perbuatan pidana yang sangat merugikan nama baik dan harga diri pribadi, suku dan Desa Besipae, Kabupaten TTS. Dan itu harus diusut secara tuntas," tandasnya.
--- Guche Montero
Komentar