Breaking News

POLITIK Cegah Isu SARA di Pilkada 2018, Ini Langkah yang Dilakukan Kemendagri 17 Oct 2017 09:03

Article image
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. (Foto: Kemendagri.go.id)
Langkah pertama untuk mencegah berita hoaks dan isu SARA, kata Tjahjo, memetakan secara detail wilayah-wilayah yang media sosialnya berperan aktif dan jumlahnya banyak.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berharap pemilihan kepala daerah serentak pada 2018, harus lebih baik dari sebelumnya. Pesta demokrasi ini, harus lebih berkualitas, bebas hoax dan ujaran kebencian.

"Peran media massa perlu dioptimalkan untuk Pilkada yang lebih baik, sehingga tidak dimanfaatkan untuk menyebar  hoax oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Perlu bersinergi dengan asosiasi media-media," kata Tjahjo melalui pesan singkatnya yang diterima di Jakarta, Senin (16/10/2017).

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), kata Tjahjo, telah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah tahun 2017. Ada beberapa catatan dari hasil evaluasi tersebut.

Pertama, Pilkada serentak 2017 diikuti 101 daerah, dengan rincian 7 provinsi, 76 kabupaten dan 18 kota. Pemilihan serentak itu melibatkan 44,4 juta pemilih, dengan  total biaya APBD  Rp 5,8 triliun.

"Pilkada diikuti 310 pasangan calon dengan rincian 24 cagub dan wagub, 236 calon bupati dan calon wakilnya, 50 calon walikota dan wakilnya. Dan jumlah pasangan tunggal meningkat dari 3 pasangan pada 2015, menjadi 9 pasangan di  2017," ujarnya.

Kedua, dari sisi tingkat partisipasi juga  meningkat tajam. Rata-rata tingkat partisipasi mencapai  74,2 %, dibanding tahun 2015 yang hanya  sampai pada angka 65-70%. Secara umum, Pilkada berjalan sukses dan terjadi lonjakan tingkat partisipasi yang tinggi pada beberapa daerah, misalnya DKI Jakarta.

"Walaupun berjalan lancar, terjadi PSU di 71 TPS, serta konflik pasca Pilkada pada 5 kabupaten di Papua," katanya.

Catatan lain dari hasil evaluasi  Pilkada serentak 2017,  kata Tjahjo, yaitu animo masyarakat terhadap Pilkada meningkat. Walau pada beberapa daerah  masih masih terkendala dengan e-KTP, tapi kebijakan surat keterangan atau Suket cukup efektif untuk mengatasinya.

Tjahjo mengatakan, dari 310 pasangan calon yang berkompetisi, masih  belum berkembang budaya siap kalah dan siap menang. "Terjadi PSU pada 71 TPS, serta mengerahkan massa tidak menerima kekalahan yang anarkis," tegasnya.

Menghadapi pemilihan serentak serupa pada 2018, ujar Tjahjo, diperlukan penguatan integritas dan kapasitas penyelenggara. Karena faktanya sebanyak 37 pengaduan ke DKPP terkait dengan penyelenggara. Selain itu, parpol juga harus memberikan pendidikan politik yang lebih baik.

“Dari 310 pasangan calon,  241 diusung parpol, 69 pasangan calon tidak melalui parpol. Jumlah  ini meningkat dari tahun 2015," katanya.

Tjahjo menambahkan, dukungan pemerintah untuk memetakan potensi konflik dan identifikasi kerawanan pra dan pasca pilkada terus  dioptimalkan. Yang tak kalah penting, memperkuat koordinasi dengan BIN dan kepolisian di daerah. 

"Terkait dengan berkembangnya perilaku hoax dan antisipasi isu SARA yang akan mengganggu kualitas Pilkada 2018, dapat  diambil beberapa langkah," ungkapnya.

Langkah pertama, kata Tjahjo, memetakan secara detail wilayah-wilayah yang media sosialnya berperan aktif dan jumlahnya banyak.

Kedua, sinergi dengan ahli IT. Ini sangat penting untuk melakukan blokir terhadap media abal-abal yang sering menebar fitnah dan kebohongan.

Ketiga, mendorong Pemda untuk mengalokasikan dukungan dana yang proporsional untuk sosialisasi Pilkada yang bermartabat.

Keempat,  para pasangan  harus gencar mempublikasikan gagasan dan idenya melalui media dengan berpedoman pada RPJMD yang ada.

"Langkah lainnya, penyelenggara bersama pemerintah harus merangkul tokoh-tokoh masyarakat untuk menjaga netralitas ASN. Juga harus ada sanksi yang nyata dan riil terhadap pelanggaran netralitas ASN oleh pemerintah, sebagai shock therapy bagi ASN lainnya," pungkas Tjahjo.

---

Komentar