Breaking News

BERITA Cegah Potensi Korupsi Dana Bantuan Covid-19 di NTT, TPDI Minta Masyarakat dan Media Ikut Awasi 04 May 2020 08:38

Article image
Koordinator TPDI dan Advokat PERADI, Petrus Selestinus. (Foto: Ist)
"Meskipun sumber dana bantuan dan fokus penggunaan anggaran sudah ditetapkan, namun problem rawan korupsi secara berjamaah tetap menjadi ancaman serius," sorot Petrus.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Firli Bahuri, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, Rabu, (29/4/20) lalu, mengancam akan menindak pelaku korupsi anggaran penanganan bencana virus Corona (Covid-19) dengan tuntutan hukuman mati, dengan dalil keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi. Sehingga bagi siapa pun yang melakukan korupsi anggaran penanganan Covid-19, akan dihukum mati. 

Firli Bahuri juga menjelaskan bahwa KPK membentuk Satgas Covid-19 untuk mengawasi penyaluran dan penggunaan Dana Bantuan Covid-19, karena Firli Bahuri mengkonstatir ada 4 empat celah korupsi yang perlu diwaspadai yaitu; saat Pengadaan Barang dan Jasa, Sumbangan dari Pihak Ketiga, Realokasi Anggaran serta Distribusi Bantuan Sosial.

"Ancaman pidana mati yang dikemukakan Firli Bahuri, bukan pepesan kosong. Sebab, soal pidana mati adalah amanat pasal 2 UU Tipikor, yang secara tegas menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Demikian hal itu diutarakan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selestinus dalam keterangan tertulis kepada media ini, Minggu (3/5/20).

Petrus menerangkan bahwa penjelasan frasa dilakukan dalam keadaan tertentu, dimaksudkan antara lain yakni pada tindak pidana korupsi yang dilakukan saat negara sedang menghadapi bencana secara nasional.

Petrus menilai, Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Timur (NTT) telah mendeclare mengalokasikan APBD untuk penanganan bahaya Covid-19 dengan total anggaran mencapai Rp. 1.139.964.768.451.

Anggaran senilai Rp. 1,1 Triliun lebih tersebut merupakan  akumulasi dari realokasi APBD Provinsi dan 22 Kabupaten/Kota se- NTT, dengan rincian Pemprov NTT mengalokasikan anggaran dari APBD sebesar Rp. 286.857.476.000, sedangkan 22 Kabupaten/Kota, total mengalokasikan anggaran APBD sebesar Rp. 942.999.025.441.

Menurut Petrus, dengan jumlah realokasi anggaran sebesar itu, berarti Pemda harus menunda program pembangunan pada 15 pos mata anggaran APBD karena mensubstitusikan anggaran belanjanya kepada penanganan Covid-19 dengan fokus pada tiga sektor penting yakni Pembiayaan Penanganan Covid-19, sektor Jaring Pengaman Sosial (JPS), dan sektor Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19. 

Sektor Rawan Korupsi

Dalam pandangan KPK, kata dia, ketiga sektor pentong itu sama-sama rawan terhadap korupsi sehingga harus diawasi secara ketat, apalagi ada Bantuan Dana dari Dinas PUPR untuk proyek-proyek yang ditangani seperti infrastruktur jalan dan jembatan, juga ada dana dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, yang difokuskan untuk membantu Kepala Keluarga (KK) yang kehilangan mata pencaharian akibat pandemi Corona, juga sumbangan dari Pihak Ketiga yang diberikan langsung kepada Pemda.

"Meskipun sumber dana bantuan dan fokus penggunaan anggaran serta target bantuan akan diberikan sudah ditetapkan, namun problem rawan korupsi secara berjamaah tetap menjadi ancaman serius. Pasalnya, semua pihak lebih takut kepada bahaya Covid-19 ketimbang ancaman pidana mati oleh KPK. Maka faktor kehati-hatian dalam verifikasi dan validasi data penerima bantuan dilakukan secara asal-asalan jika perlu dimark-up, sehingga potensi terjadinya overlapping pemberian dana bantuan, baik karena kekeliruan atau disengaja, tak terhindarkan dan tak bisa dicegah," ujar Petrus.

Dalam situasi tersebut, Advokat Peradi ini justru mempertanyakan kinerja aparat Penegak Hukum, Inspektorat, DPR dan DPRD guna mengawasi dan mencegah penyimpangan yang sedang terjadi saat ini.

"Masalahnya, mencegah KKN pada saat ini bisa berbuah malapetaka, karena dianggap menghambat bantuan penanganan Covid-19, sehingga pilihannya lebih baik membiarkan penyimpangan terjadi, toh nanti pelakunya dipenjara. Jika pilihannya pada memenjarakan pelaku, maka akan banyak orang menghadapi ancaman hukuman mati sebagaimana peringatan Ketua KPK," katanya.

Modus operandinya, lanjut dia, masih konvensional yaitu dengan menciptakan data penerima fiktif, belanja fiktif, biaya pengobatan fiktif, dan lain-lain, karena lemahnya pengawasan akibat keengganan dan trauma petugas terhadap bahaya Covid-19, seakan-akan memberi peluang untuk terjadinya korupsi, untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara dengan potensi kebocoran anggaran ditaksir hingga mencapai 30%.

Potensi Korupsi Bantuan Pihak Ketiga 

Petrus juga menyinggung soal kebocoran dalam mendata dan memilah Bantuan Dana Pihak Ketiga yang langsung diberikan kepada pejabat tertentu di daerah, misalnya kepada Gubernur atau Bupati/Walikota yang boleh jadi tidak terdata atau terdata tetapi disamarkan.

"Ini juga salah satu pintu masuk peluang untuk dikorupsi, sehingga patut diwaspadai, sebagaimana kontastasi Ketua KPK Firli Bahuri di hadapan Komisi Hukum dan HAM DPR RI," singgungnya.

Menurut data dari Badan Keuangan Daerah (BKD) Setda Provinsi NTT, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) merupakan Kabupaten yang terbesar dalam alokasi anggarannya yaitu Rp. 78.631.041.437, sedangkan Kabupaten yang terkecil alokasi anggarannya adalah Sabu Raijua, yakni sebesar Rp. 11.498.002.002.

Terkait anggaran penanganan Covid-19 di NTT, Kepala Badan Keuangan Daerah Setda Provinsi NTT, Zacharias Moruk, pada Rabu (29/4/20) mengatakan bahwa anggaran yang dialokasikan Pemprov NTT dikhususkan untuk upaya pencegahan dan penanganan kesehatan sebesar Rp. 81 miliar lebih, lalu untuk JPS sebesar Rp. 105 miliar dan sisanya Rp. 100 miliar untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat.

"Ini berpotensi terjadi overlapping, karena sasarannya pada cluster yang sama lalu saling klaim," tandasnya.

--- Guche Montero

Komentar