Breaking News

OPINI Eksistensi Masyarakat Lokal dan Spirit Kebhinekaan: Sampai Kapan? 08 Sep 2020 18:42

Article image
Basis kebhinekaan sedang terancam menuju kepunahan karena tidak mampu bertahan terhadap kekuatan modernisasi dan globalisasi.

Oleh: Simply Yuvenalis, STF*

 

Beberapa hari lalu saya mendapat postingan di WA Group tentang sebuah webinar yang temanya menarik: "Pengarusutamaan Masyarakat Lokal dalam Pembangunan dengan Spirit Kebhinekaan."

Yang menarik bagi saya yakni;

Pertama, masyarakat lokal mendapat tempat istimewa karena menjadi subyek "pengarusutamaan."

Ini memberi kesan bahwa selama ini kurang mendapat fokus perhatian dalam pembangunan, maka sekarang digagas untuk mendapat perhatian lebih besar dengan judul "pengarusutamaan."

Pernah juga terdapat ungkapan "pengarusutamaan gender dalam pembangunan", sekarang sudah semakin samar dan hilang isu gender tersebut. Ini pun isu dari lembaga dana asing kepada LSM dan masuk ke negara juga. Jadi bukan dari spirit kebhinekaan.

Muncul pertanyaan yang menggelitik: Masyarakat Lokal manakah yang mendapat porsi "pengarusutamaan" dalam pembangunan? Karena sasaran pembangunan selama ini yakni dari negara untuk seluruh rakyat Indonesia.

Mekanisme perencanaan dan pelaksanaan anggaran pembangunan pun sudah ada aturannya. Misalnya, perencanaan melalui musyawarah pembangunan dusun (musbangdus), musyawarah pembangunan desa (musbangdes), lalu ke tingkat kecamatan, kabupaten, dan pusat. Dalam skema perencanaan dan pelaksanaan anggaran Pembangunan oleh Negara untuk rakyat, jarang terdengar ada judul khusus tentang Masyarakat Lokal. Ada pembuatan jalan rabat di desa, jalan raya, fasilitas kesehatan dan pendidikan, tidak ada label khusus untuk Masyarakat Lokal. Maka, "pengarusutamaan untuk masyarakat lokal" ini menjadi menarik.

Apakah yang dimaksud komunitas masyarakat asli dari satu wilayah adat budaya atau yang mana? Karena wilayah administrasi pemerintahan dan kebijakan pembangunan, aturannya adalah untuk seluruh rakyat di wilayah itu; misalnya masyarakat  desa, kabupaten dan propinsi. 

Kedua, tentang spirit kebhinekaan. 

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibangun di atas keanekaragaman suku bangsa, agama, ras, wilayah adat budaya dan golongan. Spiritnya adalah Bhineka Tunggal Ika. Kenyataan keanekaragaman ini, sekarang sudah mengalami perubahan dasyat dengan Pembangunan dan Modernisasi serta Globalisasi. Misalnya, tentang wilayah administrasi pemerintahan. Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir ini, sudah ada banyak perubahan dan pemekaran di berbagai daerah; baik Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan juga Desa/Kelurahan. Regulasinya pun berubah, serta pejabatnya silih berganti, sebagai pelaksanaan kebijakan politik negara. Hasil pembangunan bertambah dan ikut mengubah banyak hal di seluruh wilayah NKRI serta masyarakatnya. Jumlah penduduk di setiap wilayah berkembang pesat dan berbaur lintas etnis dari berbagai asal di Indonesia. Hampir seluruh pelosok wilayah NKRI sudah terjadi pembauran multi kultur warga bangsa Indonesia, bahkan warga negara asing yang datang bekerja dan menetap. Masih ada beberapa komunitas adat yang terjaga seperti masyarakat Baduy Dalam, Kubu, dan beberapa suku pedalaman Papua.

Pembauran multi kultur ini juga adalah salah satu hasil pembangunan. Karena ada kota-kota baru, pusat industri dan perdagangan baru, juga tersedianya kemudahan transportasi karena jalan raya dan pelabuhan. Sebaliknya, wilayah khusus kebhikeaan adat budaya menjadi semakin kabur karena lahirnya wilayah administrasi pemerintahan yang baru dengan kebijakan pembangunan hingga kini.

Di kampung dan komunitas adat budaya, sudah semakin tidak jelas otoritas adat budayanya karena terpecah oleh sarana jalan raya dan wilayah pemerintahan yang baru. Selain itu, pola pemukiman pun berubah mengikuti kemudahan akses terhadap berbagai sarana pembangunan dan modernitas; seperti akses jalan raya, pasar, sekolah, puskesmas dan pemukiman baru/perumahan, pabrik, pelabuhan dan bandara. Perubahan tersebut ikut juga mengubah hal yang lebih mendasar yakni identitas adat budaya dan spiritualitas kelokalan sebagai basis kebhinekaan.

Pembangunan yang membuka jalan perubahan di komunitas adat budaya yang bhineka, dimotori oleh budaya modernisasi dan globalisasi. Bahkan bisa disebut bahwa pembangunan justru melayani kepentingan material dan spirit modernisasi dan globalisasi seperti kapitalisme dan neokolonialisme. Maka pertanyaan reflektifnya adalah spirit kebhinekaan yang mana yang mau digunakan untuk  pengarusutamaan masyarakat lokal dalam pembangunan? Apakah spirit saat menggunakan busana daerah oleh ASN dan anak sekolah, musik daerah atau makanan tradisional dalam pariwisata, dan upacara adat daerah tertentu? Misalnya, ritual menolak pandemi covid-19 dengan cara adat budaya lokal?

Ketiga, frasa "Pembangunan."

Jargon "Pembangunan" adalah sistem dan program Negara terhadap rakyat, sesuai aturan perundangan yang dibuat negara di setiap tingkatannya. Jadi bukan milik masyarakat lokal dan komunitas adat budaya yang bhineka di Indonesia. Dalam fakta dan pengalaman selama ini, dan terus berkembang atau berubah, porsi partisipasi publik dalam pembangunan adalah bagian yang terkecil, dan selalu menjadi pelengkap penderita.

Alasannya, mayoritas rakyat Indonesia sudah menyerahkan atau mandatkan kedaulatannya kepada para wakilnya, dan mayoritas rakyat tidak punya kapasitas untuk mengatur kebijakan pembangunan. Para eksekutif di semua tingkatan melakukan tugas sesuai perintah Undang-Undang, dalam relasi kewenangannya dengan Legislatif. Hukum NKRI ada di tangan Lembaga dan pejabat penegak hukum. Rakyat ikut saja dan mengalami semua proses pembangunan sesuai sistem aturan yang berlaku. Jadi, memang "pembangunan" bukan khasanah milik masyarakat lokal dan spirit kebhinekaan yang berbasis pada komunitas adat budaya. Negara dan Pembangunannya adalah institusi dan spirit modern, bukan warisan tradisi adat budaya dengan segenap totalitas eksistensinya.

Selain aturan perundangan Negara, dewasa ini masyarakat lokal juga sudah tercaplok menjadi bagian dari sistem pasar, sistem agama kepercayaan modern dengan hukum dan kepentingannya sendiri. Maka esensi dan hakekat kebhinekaan di Indonesia, bahkan identitas diri warga bangsa sedang mengalami transisi, bahkan "keterasingan",  semua kekuatan sistem dan otoritas tersebut: Negara, Bisnis Modernisasi dan Globalisasi, Pendidikan, Kesehatan, Teknologi Informasi dan Agama modern.

Disinyalir bahwa ungakapan dan frasa tentang masyarakat lokal, kebhinekaan, adat budaya, partisipasi publikmengahadapi, hak sipil, hak masyarakat adat adalah bentuk ironi dan Verbalisme, jika dihadapkan dengan kenyataan sesungguhnya.

Hasil indepth survey sejumlah LSM yang konsern kepada isu hak sipil sekitar 1994-1998, khususnya terhadap eksistensi masyarakat adat, yang kemudian melahirkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), bahwa posisi masyarakat adat di Indonesia, yang menjadi basis kebhinekaan Indonesia SANGAT LEMAH dan MERANA berhadapan dengan Negara, Bisnis-Globalisasi dan Modernisasi serta Agama. Mungkin bisa disebut saat ini kita sedang "terasing dan menuju kehilangan identitas kelokalan." Dan itu berarti, basis kebhinekaan sedang terancam menuju kepunahan karena tidak mampu bertahan terhadap kekuatan modernisasi dan globalisasi.

Yang menarik, saya teringat ada ungkapan Mantan Presiden Gus Dur, dalam pidatonya saat membuka kongres AMAN pertama di Hotel Indonesia. Saat itu menteri Lingkungan Hidup dijabat oleh Bapak Sonny Keraf. Saat itu, sedang semarak dan semangat aktivis LSM dan perwakilan masyarakat adat  memperjuangkan hak masyarakat adat atas sumber daya alam, hak atas anggaran pembangunan untuk melindungi wilayah adat, hukum adat dan kearifan lokal, menghadapi maraknya eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan asing yang diberi izin oleh Negara. 

Dalam Pidato singkatnya, Gus Dur justru membuat lelucon yang menghentak semua hadirin. Menurut Gus Dur, "kalau mau AMAN, maka masyarakat adat harus ikuti dan mengalah kepada hakekat dan arti dari kata AMAN yang digunakan sebagai nama organisasi Masyarakat Adat dalam memperjuangkan hak-hak.

Sebab, dari pilihan kata-kata saja (Aliansi, Masyarakat, Adat, Nusantara), justru tidak satupun kata adalah milik komunitas adat yang bhineka di Indonesia ini. Jadi, kalau mau mendapat hak-hak masyarakat adat sebagai basis kebhinekaan Indonesia, kalian harus belajar bekerja sama, bahkan HARUS MENGEMIS dan minta belas kasihan kepada Negara, serta Pihak Asing (Pemodal-Pebisnis, Pemilik Modernisasi dan Globalisasi) yang sangat mempengaruhi kebijakan pembangunan negara ini. 

"Jadi, kalau benar mau AMAN, ya bekerjasamalah, tidak bisa paksa maumu dan melawan negara," demikian bagian lelucon Gus Dur, karena sambil kelakar, beliau tanyakan kata-kata dalam akronim AMAN, (Aiansi, Masyarakat, Adat, Nusantara), itu kata asli bahasa adat komunitas mana di Indonesia? 

Lalu Gus Dur menjawab sendiri, bahwa "itu semua kata asing. Ironinya, kalian perjuangkan hak-hak masyarakat adat, tetapi nama saja kalian pake bahasa asing, bagaimana mau menang sendiri?"

Pesan Gus Dur itu, awalnya saya dengar agak aneh, tetapi sekarang saya sadari dan bisa memahami, karena nyatanya demikian terjadi dewasa ini. 

Spirit kapitalisme dan neo-kolonialisme yang melahirkan modernisasi dan globalisasi sudah melampaui batas wilayah, bahkan menguasai pribadi (individ. Misalnya dengan gadget dan semua fasilitasnya, karena kecanggihan teknologi informasi, maka segala jarak menjadi hilang, sekaligus para pemilik sistem dan modal bisa mengendalikan berbagai institusi politik dan budaya, bahkan individu.

Dengan refleksi atas fakta yang sedang terjadi, kiranya menjadi alternatif diskusi untuk melihat sejauh mana urgensi "pengarusutamaan masyarakat lokal dalam pembangunan dengan spirit kebhinekaan."

Menurut ungkapan bijak adat budaya Krowe di Kabupaten Sikka-Flores-NTT, bahwa dalam kehidupan bersama, untuk menghasilkan kebaikan bersama (bonum commune), sangat perlu partisipasi dan kerjasama segenap pihak, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Semua adalah bagian yang penting dalam kehidupan bersama. Ungkapannya adalah  "witi e kikir, rema e epak, sareng Ita mogat sawen." Artinya: "kerja sama jari-jari bisa mengangkat sesuatu untuk digenggam di telapak tangan, sehingga berguna dan menyelamatkan kepentingan kita bersama," untuk hidup yang lebih sejahtera dan bermartabat.

 

*Penulis adalah Direktur Harmoni Institute, anggota Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Alumnus STF Driyarkara, tinggal di Jakarta.

Komentar