Breaking News

NASIONAL Indonesia Raya Incorporated: Stop Politisasi BUMDes 19 May 2017 12:42

Article image
Prof DR Darsono MSi (batik coklat berkacamata) saat paparannya dalam Focus Group Discussion Indonesia Raya Incorporated (FGD IRI) di Solo, Desember 2016. (Foto: Ist)
Dana desa yang besar itu berfungsi pertama, sebagai modal penyertaan dan kedua sebagian dana tersebut untuk sektor riil oleh BUMDes yang benar-benar dapat menggerakkan nilai tambah ekonomi di lokal desa setempat.

SURAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Dunia usaha perlu mendukung usaha Presiden Joko Widodo untuk mempersempit jurang ketimpangan antara desa dan kota, kota maju dan desa terbelakang atau juga masyarakat kaya dan miskin. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi harus dimulai dari daerah melalui pemberdayaan. Sehingga, sesuai dengan nafas otonomi daerah, langkah paling awal yang harus dilakukan adalah, badan usaha daerah (desa) memiliki kesempatan menguasai saham badan usaha pemerintah di atasnya dan bukan sebaliknya.

BUMDes, sebagai misalnya, memiliki kesempatan memiliki saham badan usaha miliki kabupaten ataupun Badan usaha milik kabupaten memiliki kesempatan membeli saham badan usaha milik provinsi.  Dengan demikian, ekonomi daerah akan bergerak dengan penyertaan saham tersebut karena ada kepentingan sebesar saham yang ditanamkan dan menjadi pertimbangan dalam pembangunan ekonomi desa ataupun daerah.

Demikian diungkapkan Prof DR Darsono MSi, anggota tim ahli Indonesia Raya Incorporated (IRI), sistem ekonomi baru yang digagas oleh Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), Rabu (17/5/2017). Pernyataan Darsono itu menanggapi pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Sandjojo.

Eko Sandjojo beberapa waktu lalu mengatakan bahwa terdapat  4 (empat) bank BUMN yang akan menjadi holding BUMDes. Holding itu dinamai mitra BUMDes. Keuntungan akan dibagi yakni 51% untuk mitra BUMDes dan 49% ke BUMDes. Alasannya mitra BUMDes lebih besar karena negara harus memegang kendali. Selain itu, BUMDes yang telah mampu mandiri dan maju diwajibkan membuat koperasi.

“Selama ini, ekonomi terpusat dari pusat dan menyusul daerah, ketimpangan itu tidak akan berkurang. Sebagai akibatnya, daerah yang dianggap tidak penting akhirnya tertinggal terus karena skala prioritas pembangunan dibuat oleh pusat. Sudah saatnya, kekuatan ekonomi nasional harus diubah bukan dari pusat ke daerah tetapi dari daerah ke kota (pusat). Ekonomi daerah kuat akibatnya adalah ekonomi nasional juga akan kuat,” ujar Darsono, yang juga dosen Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Terkait dengan hal ini, Darsono tidak setuju dengan usulan Eko Sandjojo. Ia mengatakan bahwa akan lebih baik kalau Kemendes PDTT membuat sistem di mana BUMDes memiliki saham di badan usaha yang dimiliki oleh Kabupaten. Jika ada bank cabang BRI, sebagai misalnya, di sebuah Kabupaten sebaiknya saham bank cabang itu dimiliki juga oleh BUMDes. Dengan demikian, bank plat merah itu akan memberi perhatian kepada masing-masing desa.

“Jika di sebuah kabupaten ada 50 desa, dengan skema yang diusulkan, bank cabang itu akan dimiliki oleh BRI dan 50 desa. Bank milik bersama itu bisa berupa bank pasar ataupun bank cabang BRI itu sendiri. Berapa besarnya saham yang dimiliki masing-masing desa tidak menjadi masalah. Bisa saja 50 desa ternyata hanya memiliki 30 persen. Ya tidak apa-apa…. Namun yang jelas desa akan menggunakan bank milik bersama itu  dan desa akan menikmati langsung dari usaha bersama itu. Kepala Desa pasti akan mendorong warganya untuk menggunakan bank bersama tersebut. Bukankah pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa ekonomi Indonesia dibangun atas usaha bersama dan berasaskan gotong royong ?” tegas Guru Besar UNS itu.

Anggota Ahli Ekonomi IRI menjelaskan lebih lanjut, holding sebaiknya ditunda. Yang harus dilakukan masing-masing bank plat merah itu berlaku seperti lokomotif dan menarik gerbong-gerbong BUMDes. Ekonomi desa yang idel dan kabupaten secara terintegrasi harus segera diwujudkan. Maka dana desa yang besar itu berfungsi pertama, sebagai modal penyertaan dan kedua sebagian dana tersebut untuk sektor riil oleh BUMDes yang benar-benar dapat menggerakkan nilai tambah ekonomi di lokal desa setempat. Sehingga, antar desa diikat secara ekonomi dengan penyertaan modal ke kabupaten. Ikatan ekonomi ini, sebagai sabuk penguat menuju rumah kesejahteraan bersama.

“Dalam tata kelola sebaiknya diangkat tenaga professional dengan rekrumen merit system, bekerja dengan target. Agar tidak terjebak pada gaya kelola business as usual. Kondisi ini bisa ditempuh dengan rekrutmen melalui perguruan tinggi setempat. Kondisi seperti ini akan memunculkan lapangan kerja yang orang-orangnya dari daerah dan bukan dari pusat,” jelas Darsono.

Sehingga, oleh Darsono diusulkan, dalam melaksanakan pembangunan atau pengembangan ekonomi hendaknya ada pemilihan jenis usaha unggulan lokal yang terjamin keberlanjutannya, memiliki multiplier ke depan dan ke belakang yang besar. Syarat utamanya adalah, peneguhan dan perkuatan kelembagaannya itu sendiri. Pada akhirnya akan terjalin integrasi kekuatan ekonomi, dari desa – kabupaten – provinsi dan ke pusat. Kesejahteraan masyarakat sangat mudah untuk diukur kemudian.

Indonesia Raya Incorporated (IRI), yang didukung penuh oleh Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD), diusulkan oleh AM Putut Prabantoro – Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa). IRI pada saat ini sudah berada di tangan Dewan Pertimbangan Presiden untuk digodok lebih lanjut sebelum segera diajukan kepada Presiden Joko Widodo.

Konsep IRI dimatangkan para profesor dan doktor dari 14 Perguruan Tinggi. Selain Darsono, mereka adalah Prof Mudrajad Kuncoro PhD (Universitas Gadjah Mada),  Prof Dr H Werry Darta Taifur SE MA (Universitas Andalas), Prof DR B Isyandi MS (Universitas Riau), Prof DR Djoko Mursinto MEc (Universitas Airlangga, Surabaya), Prof Dr Tulus Tambunan (Universitas Trisakti,  Jakarta), Prof DR Munawar Ismail DEA (Universitas Brawijaya, Malang), Dr Syamsudin (Universitas Muhammadiyah Surakarta), Sari Wahyuni MSc PhD (Universitas Indonesia, Jakarta), DR D Wahyu Ariani MT (Universitas Kristen Maranatha Bandung) , DR Y Sri Susilo MSi (Universitas Atma Jaya Yogyakarta), Dr Agus Trihatmoko (Universitas Surakarta), DR. Ir. Bernaulus Saragih M.Sc (Universitas Mulawarman, Samarinda)  dan Winata Wira SE MEc (Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepri).

--- Redem Kono

Komentar