Breaking News

TAJUK Indonesia yang Terus Berbenah Diri 04 Oct 2019 06:20

Article image
Panji Indonesia harus tetap dikibarkan sambil terus berbenah diri. (Foto: Ist)
Kita yakin bahwa Indonesia yang terus berbenah diri hanya akan terjadi jika ada kesediaan untuk saling mendengarkan. Berbeda pendapat itu perlu, tapi tidak harus mengklaim keangkuhan berpendapat.

Souvaren ist-wer uber den Aushamezustand entsheidet -- Yang berdaulat adalah siapa yang mengambil keputusan atas keadaan darurat. Demikian pendapat terkenal filsuf Carl Schmitt, tahun 1934. Memakai analisis Schmitt, kita coba membaca situasi saat ini.

Menurut Schmitt, yang berdaulat adalah sosok yang mampu mengambil keputusan di tengah “situasi genting.” Kegentingan yang dimaksud adalah situasi Negara yang mengalami krisis konstitusi dan disorientasi tatanan politis. Jika negara berada dalam debat tidak berkesudahan terkait ketidakberterimaan konstitusi (UU) atau situasi politik tidak menentu, maka bolehlah dimunculkan “sosok berdaulat” yang dapat mengambil alih situasi.

Siapakah sosok itu? Sosok itu “berdaging,” manusia kuat luar biasa yang mampu menghentikan sekaligus situasi genting. Ia memiliki kedaulatan mutlak atas apapun. Ia Alfa sekaligus Omega dari kegentingan atau situasi darurat. Ia punya kemampuan untuk menciptakan chaos (kerusuhan) sekaligus diyakini dapat menghilangkan chaos. Dengan mengambilalih, pemimpin itu menciptakan orde/tatanan baru untuk menggantikan sistem pemerintahan yang lama.

Mungkin baik kita membahas apa yang dimaksud sistem. Sistem dimengerti dalam konteks hukum. Menurut Schmitt, negara hukum modern dari zaman Aufklarung (abad le-18) yang diperkenalkan Locke, Montesquieu, dan Rousseau menyingkirkan legitimasi politis. Artinya, dalam konsep negara hukum, yang berkuasa adalah rasionalitas hukum yang bersifat administratif dan yuridis. Akibatnya, pemimpin dipaksa tunduk pada hukum dan mekanisme hukum.

Yang hilang, bagi Schmitt, adalah legitimasi kekuasaan pemimpin. Pemimpin tidak berdaya karena pengondisian sistem birokratis, menyitir bahasa Max Weber, sebagai rasionalisasi. Dalam keadaan normal, produk hukum akan menata kehidupan masyarakat. Hukum adalah (representasi) mutlak kenyataan faktual, dan sebaliknya kenyataan mutlak (representasi) hukum.

Nah, krisis konstitusi terjadi ketika masyarakat tidak lagi menerima rasionalitas hukum yang berlaku. Krisis ini dapat menghasilkan chaos, dan chaos membutuhkan dan menghadirkan pemimpin yang berkedaulatan mengambil keputusan. Sosok penuh kuasa itu dapat mengambil keputusan, tidak lagi berdasarkan sistem yang lama, tetapi menggantinya dengan tatanan yang baru. “Sosok berdaging” itu sangat kuat, licik pula memanipulasi chaos agar ia dapat berkuasa, berdaulat, berkedaulatan atas situasi.

Pertanyaan kritis Schmitt adalah ketika sosok berdaulat (yang menjadi pemimpin baru) itu muncul, apa dan siapa yang menjamin bahwa sistem baru yang diciptakannya lebih efektif atau lebih baik? Apakah kita dapat menjamin pemimpin yang berdaulat ini lebih komunikatif, lebih rasional, lebih demokratis? Dapatlah ia mampu menjamin hukum yang lebih adil dari sebelumnya?

“Sosok berkuasa” yang memiliki potensi kedaulatan penuh, dalam konteks saat ini, adalah sosok yang memiliki dukungan politik dashyat, punya kemampuan finansial, dan didukung militer. Karena ia mengandaikan adanya ketakutan-kepatuhan dari massa yang kini terlibat dalam chaos itu. Karena ia dapat pula menggerakkan-mengentikan chaos yang dirancangnya sendiri. Maka ia berbahaya!

Indonesia sebagai negara hukum sedang melewati rasionalitas birokrasi dan hukum yang terus-menerus berbenah diri. Masih terdapat banyak kekurangan dari segi hukum dan birokrasi, dan itu harus diterima-dikritik oleh sebuah bangsa yang 32 tahun pernah mengalami "sosok berdaulat". Dialog dialektis yang demokratis, santun, elegan, dan bergagasan merupakan kunci untuk membangun Indonesia.

Kita yakin bahwa Indonesia yang terus berbenah diri hanya akan terjadi jika ada kesediaan untuk saling mendengarkan. Berbeda pendapat itu perlu, tapi tidak harus mengklaim keangkuhan berpendapat. Rakyat dapat menyampaikan aspirasi publik secara santun, tidak anarkis, sementara pemerintah menyediakan telinga, sambil terus membangun diskursus publik terus-menerus.

Salam Redaksi IndonesiaSatu.co

Komentar