Breaking News

LINGKUNGAN HIDUP Kembali ke Taman Eden 09 Feb 2019 12:29

Article image
Kita harus menjaga lingkungan hidup agar tetap lestari. (Foto: Ist)
Pemujaan berlebihan terhadap diri manusia membangun relasi kecurigaan terhadap sesama manusia lainnya.

Oleh Redem Kono

SEPERTI apakah situasi manusia pada zaman ini? Jika pertanyaan ini Anda ajukan kepada Profesor Norman Wirzba, maka ia akan menjawabnya getir.

Meminjam kisah Alkitab, profesor ekologi yang memilih hidup di pedesaan akan berkisah: “Kita seperti Adam dan Hawa yang terusir dari Taman Eden. Dunia kini lebih tampak sebagai tempat pengasingan manusia. Kita dibuang dari situasi Taman Eden yang sejati,” paparnya dalam bukunya yang terkenal, Food and Faith: a Theology of Eating (New York: Cambridge University Press, 2011).

Mengapa Norman berargumentasi demikian? Ia ternyata menempuh jalan panjang. “Pada mulanya adalah manusia mengalami situasi Taman Eden. Situasi yang menunjukkan situasi asali hubungan manusia dengan alam. Di dalam Taman Eden, manusia selalu menemukan dirinya berada dalam relasi personal dengan alam dan penghuninya,” jawabnya.

Taman Eden dalam pengertian Norman adalah rumah kebersamaan. Rumah yang menempatkan anggotanya hidup dalam kesederajatan. Tidak ada yang dominan. Tidak ada yang dikucilkan. Semua anggotanya saling memberi diri kepada yang lain. Dunia dilihat sebagai milik bersama yang harus dilestarikan. Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Sie (2016) meringkasnya dengan singkat, padat, dan indah: “Bumi adalah rumah bersama.”

Agaknya bagi saya, Norman mengingatkan pada pandangan kosmosentris. Berlaku dalam pandangan ini keselarasan kosmik. Setiap anggota selalu berada dalam jalinan relasi dengan yang lain. Setiap anggota dalam alam memiliki kontribusi penting, yang tidak bisa dianggap remeh oleh yang lainnya.

Namun, situasi Taman Eden ini akhirnya berakhir. Manusia-lah yang mengakhirinya. Norman melukiskannya secara dramatis: “Adam dan Hawa memutuskan makan buah terlarang di Taman Eden. Sebenarnya buah terlarang itu adalah batas-batas yang harus dipatuhi agar relasi yang personal setiap penghuni alam tetap dipertahankan. Manusia melanggar batas-batas yang ditetapkan. Akhirnya, Taman Eden pun mulai runtuh,” ujarnya pahit.

Manusia bertindak melampaui batas. Ia melepaskan tanggung jawabnya dalam keterikatan dengan sesama penghuni alam yang lainnya. Yang tersisa adalah pengkhianatan manusia terhadap alam, ketika penghuni lainnya ditempatkan sejauh demi kepentingan manusia. Ambisi manusia membuatnya keluar dari persekutuan bersama dari situasi Taman Eden yang membahagiakan. Akibatnya, manusia sewenang-wenang menghancurkan alam!

Mungkin dalam tataran ini, Norman bicara tentang ulah pandangan antropologis manusia. Manusia berambisi menjadikan dirinya sebagai pusat (centre). Merasa memiliki akal, manusia mengangkat dirinya sebagai tuan atas alam. Manusia merasa diserahi kekuasaan untuk mengolah isi alam.

Apa yang terjadi? Norman secara lugas menjawab: “Kita, manusia dikeluarkan dari Taman Eden. Kita diasingkan dari persekutuan yang membahagiakan. Kita terlempar ke dalam relasi yang memuja diri sendiri dan cenderung mengabaikan indahnya hidup bersama yang lain. Kita (telah) gagal menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya,” tulisnya.

Ketika manusia terlempar dari situasi Taman Eden, tidak hanya dirinya, tetapi juga penghuni yang lainnya. Di mana-mana alam hilang kemolekannya. Kerusakan pada lapisan gas yang melindungi bumi, kerusakan hutan, dan kekeringan ditampilkan Norman sebagai bukti dari pembuangan tersebut. Tetapi bukan hanya alam yang terdampak. Pemujaan berlebihan terhadap diri manusia membangun relasi kecurigaan terhadap sesama manusia lainnya. Akibatnya perang yang muncul dari kebencian di antara manusia berlangsung di mana-mana.

Lalu, apakah masih ada jalan untuk kembali ke Taman Eden? Norman tegas menjawab: Ada! Bagaimana caranya? “Masih ada jalan untuk pulang ke Taman Eden. Mari kita pulang ke rumah bersama kita. Caranya kita harus membangkitkan kesadaran ekolologis mulai dari yang paling sederhana sampai pada yang kompleks, mulai dari personal maupun pada yang internasional. Manusia harus memanggil kembali dirinya ke dalam rumah dirinya yang sejati, Taman Eden.”

Kalau dicermati jalan pulang yang diberikan Norman, ia menganjurkan kita agar mulai berkemas dan pulang ke Taman Eden dalam cara paling sederhana: buang sampah pada tempatnya, tanam pohon yang menghijaukan. Paradigma antroposentris yang cenderung dominan sebaiknya mulai ditinggalkan. Namun, itu saja belum cukup, perlu ada kerja sama (meskipun cukup sulit di tingkat nasional atau internasional) untuk mencegah kerusakan hutan, pencemaran lingkungan, dan lain-lain. Regulasi hukum bersama ataupun kerja sama global perlu dilakukan.

Baiklah saya tutup tulisan sederhana ini: Sesungguhnya tidak ada jalan pulang yang paling rindu selain pulang ke rumah kita yang sesungguhnya, Taman Eden.

Penulis adalah redaktur pelaksana IndonesiaSatu.co

Komentar