Breaking News

REGIONAL Kembali Terima Aduan Honorer GTT, Komisi III DPRD Ende Nilai Pemerintah Gagal 07 Jan 2020 14:28

Article image
Komisi III DPRD Ende menggelar Rapat bersama puluhan honorer GTT, Dinas P dan K serta pihak inspektorat Ende di ruang Rapat Gabungan Komisi. (Foto: Ekorantt.com)
"Ini presenden buruk terhadap tata kelola birokrasi yang langsung bersentuhan dengan hak-hak dasar para pendidik yang terus berjuang meningkatkan kualitas pendidikan di tingkat SD dan SMP," sorot Vinsen.

ENDE, IndonesiaSatu.co-- Puluhan honorer Guru Tidak Tetap (GTT) yang mengabdi di berbagai sekolah di wilayah kabupaten Ende, Senin (6/1/20) kembali mendatangi Kantor DPRD Kabupaten Ende, jalan El Tari.

Di hadapan pimpinan dan anggota Komisi III DPRD Ende, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Ende, perwakilan inspektorat serta awak media, para 'pahlawan tanpa tanda jasa' tersebut menyampaikan beberapa keluhan terkait Bantuan Operasional Daerah (Bosda).

Selain keluhan karena hingga awal Januari 2020, honor (Bosda, red) mereka belum dibayar, juga sebagian guru penerima Bosda 2018 mempertanyakan alasan mengapa nama mereka tidak lagi termasuk penerima Bosda 2019, padahal semua persyaratan administrasi yang diminta Dinas P dan K kabupaten Ende telah mereka penuhi.

“Kami bingung pak. Semua data yang diminta sudah diserahkan ke dinas. Kenapa hingga sekarang honor kami tidak dibayar,” ungkap Ibu Sofia, Guru SDI Watu Mesi, Kecamatan Maurole seperti dilansir Ekorantt.com.

Keluhan senada diutarakan Lusia E. Dadi, guru honor di SDK Nuamulu. Menurut Lusia, kehadirannya bersama guru honor lainnya di Kantor DPRD Ende bertujuan untuk menjelaskan kondisi sejumlah guru yang yang namanya tercatat dalam database GTT tahun 2019 namun belum mendapatkan honor.

“Kami masih mengajar pak. Kenapa nasib kami jadi begini. Kami minta Bapak-bapak Dewan terhormat tolong perjuangkan nasib kami ini,” harap Lusia.

Pemerintah Gagal

Terhadap keluhan para honorer, Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Ende, Vinsen Sangu mengaku kaget dan menegaskan kembali pernyataannya saat pertama kali menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP), bahwa pemerintah terkesan setengah hati mengurus hak para honorer GTT.

Menurut politisi muda Fraksi PDI Perjuangan ini, polemik pembayaran GTT telah diserahkan kepada pihak inspektorat untuk proses validasi data. Bahkan dalam beberapa kali RDP bersama instansi terkait, telah disepakati juga langkah-langkah strategis penanganan GTT.

"Belum tuntasnya masalah honor GTT di Kabupaten Ende merupakan bentuk kegagalan pemerintah (Dinas P dan K) kabupaten Ende. Ini presenden buruk terhadap tata kelola birokrasi yang langsung bersentuhan dengan hak-hak dasar para pendidik yang terus berjuang meningkatkan kualitas pendidikan di tingkat SD dan SMP. Kita akan agendakan waktu tersendiri, khusus untuk membicarakan hal ini antara Dinas P & K, Inspektorat dan Komisi III DPRD,” komit Vinsen.

Sementara anggota Komisi III dari Partai Kebangkitan Bangsa, Samsudin menduga telah terjadi permainan data yang mengakibatkan sebagian guru honor tidak dapat menerima haknya.

Menurut Samsudin, rujukan pembayaran honor GTT adalah Perbup Nomor 13 Tahun 2018. Itu artinya, setiap guru yang tercatat dalam database tahun 2018, berhak menerima honor pada tahun 2019.

“Harus dibereskan persoalan ini, Dinas P dan K mesti bertanggungjawab. Persoalan administrasi, menjadi tugas dan tanggung jawab koordinasi Dinas P & K. Jangan saling lempar bola api. Dari total Dana Rp 8 miliar, yang terserap hanya 4 miliar lebih. Ini berarti Dinas P & K tidak merencanakan dengan tepat karena database guru yang amburadul menyebabkan terjadi Silpa,” tegas Samsudin.

Wakil rakyat lainnya dari Fraksi Hanura, Stefanus Bidi meminta pemerintah untuk bekerja dan menyikapi serius persoalan GTT tersebut.

Menurutnya, dari data yang disajikan Dinas P dan K Kabupaten Ende, dari 1056 GTT yang tercatat dalam database, baru 779 guru yang menerima honor. Sedangkan pada tahun 2018, sebanyak 1534 guru yang menerima honor GTT selama 4 bulan.

Sementara anggota Komisi III Fraksi Demokrat, Mahmud Bento Djegha saat dikonfirmasi media ini mengatakan bahwa sejak awal muncul polemik GTT, Fraksi Demokrat dengan keras menyatakan sikap untuk memimpin para GTT melakukan boikot mengajar dan bantuan advokasi hukum.

"Dari awal sejak timbul polemik GTT hingga RDP terakhir Komisi III pertengahan Desember 2019, Fraksi Demokrat tetap berkomitmen dengan sikap memperjuangkan nasib dan hak para GTT, agar pemerintah (Bupati, red) selaku lembaga eksekutif melalui Dinas P & maupun pihak inspektorat bisa buka mata dan tidak setengah hati menyikapi hal itu. Apa yang terjadi jika para GTT yang disandera hak mereka, boikot mengajar berbulan-bulan? Bagaimana nasib anak-anak didik dan pendidikan di kabupaten Ende? Ini persoalan krusial yang justru ditanggapi setengah hati," sorot Bento.

Bento berkomitmen akan terus mengawal polemik GTT ini hingga tuntas, termasuk mendorong revisi Perbup Nomor 13 Tahun 2018 bersama Komisi III serta terus memperjuangkan nasib GTT yang sudah tertera pada 2018 namun 'dihilangkan' pada tahun 2019.

"Jika payung hukum GTT yakni Perbup Nomor 13 Tahun 2018, maka tidak ada alasan bertele-tele terkait verifikasi dan validasi database penerima Bosda. Namun jika melihat polemik terkait verifikasi dan validasi data, maka Komisi III sudah merekomendasikan untuk merevisi Perbup Nomor 13 Tahun 2018. Ini untuk menghindari manipulasi database yang terkesan amburadul sejak awal. Juga, para GTT penerima Bosda 2018 namun tidak menerima hak mereka di 2019, harus diakomodir di 2020 mendatang. Revolusi mental harus dimulai dari menata birokrasi yang sehat," tandas Bento.

Sementara Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende, Silvester Rapa di hadapan para guru dan Komisi III DPRD Kabupaten Ende mengaku, masalah verifikasi dan validasi sepenuhnya telah diserahkan kepada pihak inspektorat.

--- Guche Montero

Komentar