Breaking News

PARIWISATA Kemenpar RI: Tenun Ikat sebagai Identitas Orang Sumba 13 Jul 2018 12:40

Article image
Festival Tenun Ikat Sumba di Sumba Timur (Foto: tribun.poskupang.com)
“Saya bangga karena masyarakat Sumba Timur selalu mengenakan kain tenun ikat Sumba. Ini menunjukkan identitas diri orang Sumba sebagai warisan dari budaya leluhur,” kesan Gede.

WAINGAPU, IndonesiaSatu.co-- Festival tenun ikat Sumba merupakan salah satu gawaian promosi pariwisata di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), juga menegaskan identitas orang Sumba melalui tenun ikat khas daerah.

Sebanyak 525 rambu penenun ikat dari Kabupaten Sumba Timur memeriahkan festival tenun ikat Sumba yang berlangsung di Lapangan Pahlawan Kota Waingapu, Kamis (12/7/18).

Kegiatan festival dibuka dengan resmi oleh Deputi bidang pengembangan, pemasaran Pariwisata 1 Kementerian Pariwisata, I Gede Pitana, dan dihadiri oleh Kadis Pariwisata NTT, Marius Ardu Jelamu, Bupati Sumba Timur, Gidion Mbilijora,Wabup Sumba Timur, Umbu Lili Pekuwali, Ketua DPRD Sumba Timur, Palulu Pambundu Ndima, pimpinan Forkompimda, komunitas festival Jelajah Tanah Humba, Para Desainer terkenal se-Indonesia, para photografer, Duta Wisata Indonesia, Duta Levico, Putri Pariwisata NTT 2018, para budayawan serta undangan.

Selain dimeriahkan oleh para penunun ikat Sumba, kegiatan festival tersebut juga diwarnai dengan penampilan fashion show tenun ikat flobamora dari duta Levico asuhan Juliae Laiskodat serta sejumlah tarian adat Sumba Timur.

Dalam sambutannya, Gede Pitana mengaku merasa bangga karena pada kesempatan itu ia bolah mengenakan kain tenun ikat Sumba yang merupakan bagian dari identitas orang Sumba dan juga bagian dari Indonesia.

“Atas nama Kementerian Pariwisata RI, saya menyampaikan apresiasi dan yang tulus kepada masyarakat Sumba, pemerintah propinsi NTT dan pemerintah kabupaten sedaratan Sumba khususnya Sumba Timur yang sudah melaksanakan festival tenun ikat dan Parade 1001 ekor kuda Sandelwood. Tujuan dari kegiatan teesebut memiliki fungsi ganda, yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga untuk memperkenalkan tenun ikat dan kuda sandalwood,” ungkap Gede dilansir tribun.poskupang.com

Gede juga mengajak masyarakat NTT khususnya di Sumba Timur untuk terus menekuni dan mencintai budaya dan tradisi lokal serta terus berkreasi, khususnya tenun ikat untuk memintal benang, memberi warna asli, menenun dan menjadikan bahan yang siap pakai.

“Saya bangga karena masyarakat Sumba Timur selalu mengenakan kain tenun ikat Sumba. Ini menunjukkan identitas diri orang Sumba sebagai warisan dari budaya leluhur,” kesannya bangga.

Kebanggaan para penenun

Kegiatan festival tenun ikat yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sumba Timur dan pemerintah Propinsi NTT, menyiratkan rasa bangga bagi para ibu penenun kain Sumba. Sebab, melalui festival tenun ikat tersebut mereka dapat mempromosikan tenun ikat Sumba ke luar daerah sehingga semakin banyak orang yang mengenal kain tenun ikat Sumba dan dapat membantu pemasaran.

Hal itu disampaikan oleh, Magdalena Ance Tabakili, Pihu Atan Ndima, Katarina Tarandja Ngana serta sejumlah penenun ikat lainya mengikuti festival tersebut.

“Selama ini sangat terkendala dengan pemasaran kain tenun ikat, sehingga diharapkan melalui kegiatan festival ini, tenun ikat dapat meningkatkan pemasaran bagi para pembeli. Hasil tenun yang diperoleh hanya sekitar 200 ribu per bulan. Padahal, hasil tenun ikatnya tersedia dalam jumlah banyak namun terkendala dengan pemasaran,” ungkapnya.

Hal senada diutarakan Pihu Atan Ndima yang mengaku merasa bangga dengan adanya festival tenun ikat yang dapat menjadi sarana promosi bagi para peminat dan pembeli kain tenun ikat Sumba.

“Kain tenun ikat yang dihasilkan benar-benar dari bahan-bahan asli lokal dan alami di mana benangnya dipintal asli Sumba, bahan pewarna dari daun nila untuk warna hitam dan akar mengkudu untuk perwarna merah. Sementara proses pembuatan kain tenun ikat Sumba dengan bahan dasar asli harus membutuhkan waktu sekitar 1-2 tahun lamanya. Sedangkan harga jual dari tenun ikat tersebut bisa mencapai Rp 20-26 juta, sebab bahan dasarnya asli dan kualitas kainnya sangat terjamin,” tuturnya.

--- Guche Montero

Komentar