Breaking News

REGIONAL Kisah Pastor Mansuetus SVD Akhiri Krisis Air Bersih di Desa Sambikoe 08 Oct 2018 10:45

Article image
Tokoh adat Kampung SambikoeManggarai Timur, Flores, NTT, Senin (14/9/2015), sedang melaksanakan ritual “sundung wae” (jemput air) yang masuk di bak penampung utama di kampung tersebut. (Foto: Tribun News)
Kenangan masa kecil yang pahit karena kurangnya air bersih menggerakkan Pastor Tus Mansuetus SVD melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah krisis tersebut.

TAK terbayang rasanya bila mengalami krisis air selama puluhan tahun. Karena air adalah kebutuhan pokok manusia, juga bagi hewan dan tumbuhan. Krisis inilah yang ditanggung warga desa Sambikoe, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur. Namun kini derita itu sudah berakhir. Seperti semboyan iklan di televisi, “Sekarang air su dekat,” warga desa Sambikoe mengalami hal yang sama. Mereka tidak lagi harus berjalan sejauh tiga km untuk mendapatkan air karena sekarang air sudah bisa diambil di tengah kampung.

Selain warga desa Sambikoe tentu saja, orang yang paling berbahagia dengan tersedianya air tersebut adalah Pastor Mansuetus SVD. Mansuetus yang juga putera kelahiran desa Sambikoe adalah orang di balik proyek pengadaan air minum yang dibantu swadaya masyarakat.

Mengutip UCAN Indonesia (1/10/2018), kenangan masa kecil yang pahit  karena kurangnya air bersih menggerakkan Pastor Tus Mansuetus SVD melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah krisis tersebut.

Lahir dan dibesarkan di desa Sambikoe, yang secara ekonomi terbilang miskin, Pastor Mansuetus masih terus  mengenang kembali perjalanan sejauh kurang lebih tiga kilometer untuk mengambil air bersih.

Perjalanan pulang dilewatinya dengan menaiki bukit karena desa mereka terletak di lereng bukit, dan tugas ini biasanya harus dilakukan setiap hari, pagi dan sore hari.

Setelah menyelesaikan studinya, termasuk di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang – Jawa Timur, ia ditahbiskan sebagai imam di Jerman pada 2004.

Mansuetus kemudian menjadi misionaris di Italia. Ketika liburan, ia merasa prihatin dengan kondisi warga di desanya, termasuk anggota keluarganya. Penduduk desa masih harus berjuang untuk mengatasi kekurangan air yang sangat akut. Keprihatinannya itu ditambah ketika melihat anak-anak yang seharusnya fokus di sekolah terpaksa harus membagi waktu antara sekolah dan mengambil air di sungai.

Sulit bagi anak usia sekolah untuk terus mengambil air bersih untuk kebutuhan sehari-hari dan ditambah harus  berjalan kaki tiga kilometer lagi untuk sampai di sekolah dasar setempat. Dia pun memutuskan untuk membantu.

Setelah mengunjungi Sambikoe pada 2008 bersama dengan beberapa temannya dari Italia, mereka memutuskan untuk membantu warga desa itu. Hal yang pertama dilakukan adalah memperbaiki  fasilitas sekolah setempat yang tidak memadai, kemudian membangun sarana air bersih.

Mereka kemudian merencanakan dan membiayai pembangunan asrama untuk anak perempuan yang belajar di Sekolah Menengah Pertama Katolik Waemokel, yang selesai pada tahun 2012.

Bahkan sekarang, anak remaja perempuan dari sekolah umum pun ditampung di asrama itu. Pada 2015, dengan bantuan dari donatur termasuk Pemerintah kota Bolzano, Italia utara, proyek air bersih dimulai.

Di bawah arahan seorang insinyur, penduduk desa bekerja berdampingan untuk memasang pipa dan pompa serta membangun penampungan air. Pekerjaan dilakukan selama satu tahun untuk mengalirkan air dari mata air yang berjarak empat kilometer dari desa, melintasi medan yang curam dan berbatu.

Sambikoe  dikelilingi savana dan bukit-bukit gersang. Penduduk desa membudidayakan padi, jagung dan umbi – serta pohon jambu mete, mahoni dan jati – dan beberapa warga pria mencari pekerjaan sampingan.

Kepala Desa Rafael Rae mengatakan bahwa sejak kehidupan dimulai di desa Sambikoe hampir 60 tahun yang lalu, anak-anak serta orang dewasa menderita berbagai penyakit kulit sebagai akibat dari terbatasnya akses  air bersih. Tetapi Pastor Mansuetus mengakhiri perjuangan panjang itu.

“Sekarang anak-anak gadis, para ibu dan anak-anak sekolah tidak perlu lagi pergi ke sungai untuk mengambil air atau mandi,” kata Rae.

“Semuanya dilakukan di rumah.”

Ludwig Nossing, perwakilan dari donatur Italia, pada saat peresmian fasilitas air bersih itu Agustus lalu meminta kepada warga agar merawat fasilitas yang ada.

“Tugas kalian adalah untuk memastikan bahwa fasilitas dipelihara dengan baik,” katanya, seraya menambahkan bahwa semua warga harus melindungi lingkungan dengan tidak menebang  pohon  yang ada di bukit-bukit itu.

“Jangan menebang pohon untuk memastikan bahwa air tidak akan kering, sehingga anak-anak dan cucu-cucu dapat menikmati apa yang anda miliki sekarang.”

Benyamin Sambi, seorang guru di sekolah dasar di desa itu, mengatakan anak-anak sekarang terlihat lebih sehat dan kehadiran di sekolah terus membaik. Dan ketersediaan air bersih telah memungkinkan orang menanam lebih banyak sayuran.

Selama musim kemarau, banyak warga dari desa terdekat mengambil air dari Sambikoe. Pastor Mansuetus berharap bahwa pasokan air baru akan membawa kehidupan yang lebih baik bagi semua warga , kata Sambi.

 

Sejak 2014

Proyek yang dikerjakan secara swadaya oleh warga setempat, demikian ditulis Tribun News (16/19/2018)  dimulai sejak tahun 2014 lalu. Sejak awal perencanaan, inisiatif dari Mansuetus yang mendatangkan ahli air dari Italia demi mendeteksi kandungan air di Nuling sangat membantu kelancaran proyek itu.

Ahli air dari Italia itu pun memeriksa kandungan kapur dari mata air itu. Hasilnya, sumber mata air Nuling ternyata tidak mengandung zat kapur dan sangat layak dikonsumsi.

Ketua Organisasi Proyek Air (OPA) Kampung Sambikoe, Rafael Rae, Senin (14/9/2015) kemarin menjelaskan, sejak Kampung Sambikoe dihuni penduduk pada 1959 lalu, wilayah ini selalu mengalami kesulitan air bersih.

Sebab, kampung ini letaknya di bukit, sementara sumber mata air berada di dataran rendah. Sejak tahun 1959 itu, warga Sambikoe harus menimba air minum di dataran rendah, dengan berjalan sejauh enam kilometer.

Bahkan, warga Sambikoe ada yang harus mengambil air dari Kota Waelengga yang jaraknya tujuh kilometer. Derita itu, lanjut Rafael, semakin memuncak ketika musim kemarau tiba. Debit air berkurang, dan air bersih pun menghilang.

Rafael mengakui, warga masyarakat Sambikoe pernah menikmati air minum bersih selama dua tahun. Hal itu atas jasa dari Pastor Paroki Santo Arnoldus dan Yoseph Waelengga, Pater Armin Matier, yang membangun sistem pompa. Namun, proyek air minum itu tidak bertahan, dan warga Sambikoe kembali mengalami kesulitan air.

Ada 85 kepala keluarga dari lima dusun di kawasan itu. Mereka harus membeli air minum bersih dari tanki mobil. Air satu tangki dibeli seharga Rp 250.000. Untuk satu jeriken besar dihargai Rp 5.000.

Proyek air minum bersih kali ini, kata Rafael, berbeda dengan proyek yang ada sebelumnya. Kali ini pemasangan pipa langsung dilakukan dari sumber mata air. Bahkan pipa untuk mengalirkan airnya adalah pipa karet yang dibeli di luar negeri.

Jarak dari mata air Nuling sampai di bak penampung utama sejauh tiga kilometer dengan pipa sebanyak 30 batang yang panjangnya 100 meter. Dan kekuatan air mulai dari sumbernya di Nuling berkapasitas satu liter per tiga detik. Debit air itu tercatat pada musim kemarau.

Diyakini, jika pada musim penghujan debit air pasti akan lebih besar. “Kami sangat senang dan bahagia karena usaha swadaya warga masyarakat sudah terlihat hari ini, di mana air sudah masuk di bak penampung utama. Kami sangat gembira," kata Rafael.

Kebahagiaan itulah yang kemudian dilampiaskan warga dalam ritual "sundung wae". Seluruh warga terlihat berbahagia, karena persoalan air bersih yang merundung selama puluhan tahun kini terselesaikan.

--- Simon Leya

Komentar