Breaking News

HUKUM Lima Tahun Tanpa Kepastian Hukum Kasus Bandara Turelelo Ngada, Warga Desak Copot Menhub Budi Karya 22 Dec 2018 22:16

Article image
Elemen Masyarakat saat menggelar aksi di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta. (Dok. Amman Flobamora)
"Ini menunjukkan presenden buruk wibawa Negara dalam menjaga marwah hukum bagi keadilan sosial,” ketus Yoseph.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Beberapa elemen masyarakat dan pemuda yang terdiri dari Kommas Ngada Jakarta, Formmada NTT, Padma Indonesia dan Aman Flobamora, Jumat (21/12/18) melakukan aksi dengan beraudiensi di depan Kantor Kementerian Perhubungan RI, Jakarta Pusat.

Melalui rilis yang diterima media ini, elemen aksi mendesak Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) untuk mencopot Menteri Perhubungan, Budi Karya karena dinilai melakukan pembiaran terhadap penyelesaian kasus kasus Pemblokiran Bandara Turelelo Kabupaten Ngada, Flores, NTT yang sudah berjalan lima tahun sejak peristiwa tanggal 21 Desember 2013 silam.

“Sudah lima tahun, kasus tersebut mengendap tanpa ada kepastian hukum. Bahkan, satu berkas perkara belum dinyatakan lengkap (P21) sehingga sampai saat ini belum disidangkan. Ini bentuk pembiaran yang diduga terjadi secara sistemik baik oleh lembaga Negara maupun lembaga penegak hukum,” kata juru bicara Kommas Ngada, Yoseph Godho.

Yoseph mengatakan bahwa setiap warga Negara memiliki hak yang setara di mata hukum tanpa memandang latar belakang sosial, jabatan maupun kekuasaan.

“Penegakan hukum harus menjamin rasa keadilan sosial. Negara melalui lembaga penegak hukum harus memastikan bahwa hak hukum setiap warga Negara tidak disandera oleh ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum yang sudah lima tahun tanpa penyelesaian. Ini menunjukkan presenden buruk wibawa Negara dalam menjaga marwah hukum bagi keadilan sosial,” ketus Yoseph.

Hal senada diungkapkan Koordinator Amman Flobamora, Roy Watu, yang menilai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kemenhub dan Polda NTT yang lalai dalam penuntasan kasus tersebut tanpa ada kepastian hukum hingga saat ini.

“Demi kepastian Hukum, kami mendesak Kapolri untuk menindak tegas Kapolda NTT yang telah melakukan pembiaran penanganan perkara pemblokiran bandara Turelelo, Soa, Ngada, NTT selama 5 tahun tanpa kepastian hukum dan mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Juga mendesak Komisi III DPR RI untuk memanggil Kapolri dan Menhub RI guna memberikan keterangan resmi tentang pembiaran penanganan perkara tersebut,” kata Roy.

Sementara Direktur PADMA Indonesia, Gabriel Goa menerangkan bahwa tuntutan kepastian hukum terkait dengan berkas ketiga yang disangkakan kepada Bupati Ngada non aktif, Marianus Sae (MS), sesuai pasal 421 UU nomor 9 tahun 2009 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan Sipil.

“Proses atas dua berkas pertama sudah jelas dengan vonis, banding, kasasi, hukuman penjara, dan kini sudah bebas. Namun, berkas ketiga tidak jelas status hukumnya hingga sekarang. Sementara, ketika dipanggil sebagai saksi atas berkas pertama dan kedua, MS membantah bahwa dirinya memberi perintah. Sedangkan di depan sidang, MS menjelaskan bahwa tindakan menduduki bandara adalah inisiatif sendiri oleh para pelaku yang telah menjalani hukuman penjara. Apakah ini bagian dari konspirasi hukum?” kecam Gabriel.

Diketahui, terkait desakan atas status hukum pada perkara tersebut, sebelumnya Formmada NTT dan Kommas Ngada Jakarta telah melakukan advokasi ke Komnas HAM dan Ombudsman RI termasuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI di Senayan, yang kemudian memanggil Polri dan Kemenhub untuk memberikan klarifikasi tanggal 20 Juni 2016.

Rapat tersebut memutuskan agar seluruh penanganan kasus pemblokiran Bandara tersebut, sepenuhnya ditangani oleh PPNS Kemenhub. Akibatnya, Polda NTT merilis Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas pasal 421 KUHP guna proses hukum lanjutan non KUHP.

Aksi tuntutan elemen masyarakat tersebut bertepatan dengan 5 tahun perkara tersebut setelah pergantian dua Presiden, tiga Menteri, termasuk jajaran Dirjen, Direktur Keselamatan Penerbangan, maupun Kepala PPNS. Meski demikian, kasus tersebut tetap mengendap tanpa kepastian hukum sehingga rasa keadilan masyarakat tersandera oleh penegakan hukum yang dinilai tumpul ke atas (elit) dan tajam ke bawah (sipil).

--- Guche Montero

Komentar