Breaking News

INTERNASIONAL Macron Berikan Penghormatan Kepada 13 Tentara Perancis yang Tewas di Mali 03 Dec 2019 16:54

Article image
Presiden Emmanuel Macron memberikan penghormatan terakhir kepada 13 tentara Prancis yang tewas di Mali. (Foto: Daily Mail)
Para prajurit tewas ketika helikopter mereka bertabrakan dalam kegelapan saat mereka memburu gerilyawan.

PARIS, IndonesiaSatu.co -- Presiden Emmanuel Macron memberikan penghormatan terakhir kepada 13 tentara Prancis, Senin (2/12/2019) waktu setempat yang tewas di Mali pekan lalu dan bersumpah tidak ada kelonggaran dalam perang melawan gerilyawan Islam di wilayah itu.

Reuters (2/12/2019) melaporkan, para prajurit tewas ketika helikopter mereka bertabrakan dalam kegelapan saat mereka memburu gerilyawan. Itu adalah kehilangan terbesar pasukan Prancis dalam satu hari sejak serangan di Beirut 36 tahun lalu ketika 58 tentara tewas.

"Tiga belas tentara kita yang paling berani ... telah mati untuk Prancis dan untuk perlindungan rakyat Sahel, demi keamanan rekan-rekan mereka dan kebebasan dunia dan kita semua," kata Macron pada sebuah upacara di Hotel des Invalides juga dihadiri oleh presiden Mali.

"Atas nama bangsa, aku salut atas pengorbananmu," kata Macron.

Anggota militer berdiri di samping 13 peti mati terbungkus bendera yang memegang foto para korban yang jatuh, yang berasal dari empat resimen.

Sebelumnya, ratusan warga Paris berjejer di jalan-jalan untuk menyaksikan 13 mobil jenazah melewati pusat kota, dikawal oleh pengendara sepeda motor polisi. Para prajurit dari resimen mereka memberi hormat kepada rekan-rekan mereka yang jatuh ketika mereka menyeberangi jembatan Alexandre III.

"Terlalu sering kita melupakan pengorbanan orang-orang ini," kata salah seorang pelayat, Alban, seorang pemuda Paris yang saudaranya yang menjadi anggota militer.

“Terima kasih atas dedikasi mereka bahwa kami bebas. Untuk itulah mereka wafat."

Kematian tersebut menjadi sorotan kepada Prancis yang memimpin kampanye kontra-pemberontakan enam tahun di Afrika Barat. Mereka telah dipaksa untuk menilai kembali strateginya, meskipun tidak ada prospek segera untuk menarik 4.500 tentaranya dari wilayah tersebut.

Prancis, bekas negara kolonial, adalah satu-satunya negara Barat dengan kehadiran militer yang signifikan yang melakukan operasi kontra-pemberontakan di Mali dan Sahel, wilayah gersang di Afrika barat tepat di bawah gurun Sahara.

"Apa yang dipertaruhkan di Sahel adalah keamanan Prancis," kata Menteri Pendidikan Jean-Michel Blanquer kepada radio RTL.

Lima puluh delapan persen orang Prancis mendukung misi militer negara mereka di Sahel, demikian sebuah jajak pendapat IFOP untuk L'Epansion pada hari Senin.

 

Solidaritas

Bagaimanapun, keamanan semakin memburuk. Gerilyawan yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda dan Negara Islam telah memperkuat pijakan mereka, membuat sebagian besar wilayah tidak bisa diatur dan memicu kekerasan etnis, terutama di Mali dan Burkina Faso.

Dalam pidatonya, Macron menghindar berbicara tentang geopolitik, tetapi memperjelas bahwa pertempuran akan berlanjut.

"(Pasukan Perancis) berada di pihak tentara Sahel yang juga membayar dengan darah mereka," kata Macron seraya memandang kea rah Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita (IBK).

IBK menghadapi kritik di dalam negeri pada hari Senin karena pergi ke Paris setelah tidak menghadiri upacara kematian 30 tentara Mali di Gao bulan lalu.

"Saya takluk pada ingatan mereka," kata IBK dalam pidato nasionalnya, pada hari Minggu, membela keputusannya untuk pergi ke Paris.

"Kami tidak punya alasan untuk menggigit tangan orang-orang yang menawarkan milik mereka hari ini (untuk membantu kami)."

--- Simon Leya

Komentar