Breaking News

RESENSI Mencandra Kehidupan, Memberi Makna pada Profesi Kita 30 Aug 2016 19:40

Article image
Filsafat Untuk Para Profesional. (Foto: Ist)
Buku ini hadir tepat waktu. Buku ini adalah sebuah cara kreatif supaya kita mampu menarik jarak tertentu di tengah euforia puja-puji atas bangsa ini.

Judul               : Filsafat Untuk Para Profesional

Penulis             : F Budi Hardiman (ed.)

Penerbit           : Kompas, Jakarta

Tebal               : xii + 228 halaman

Tahun              : 2016

 

Oleh                : Agustinus Tetiro*

 

Filsafat merupakan ilmu kritis. Filsafat adalah perangkat yang dipakai untuk melontarkan kritik. Puja-puji makan puji dan mentalitas penjilat yang meluluh menyenangkan tentu tidak mempunyai tempat dalam filsafat. Namun, sebagai ilmu kritis, filsafat bukan meluluh kritik penuh hujatan, serangan yang menjelek-jeleken, ataupun proses rasionalisasi untuk menyudutkan subjek, pribadi ataupun hal tertentu.  Filsafat menaruh hormat dan mengabdi pada kebenaran. Filsafat adalah cinta, sebagai kata kerja, kepada kebenaran.

Filsafat bisa dipakai untuk mengkritik hampir semua hal dan fenomena, termasuk terhadap pekerjaan dan profesi yang kita terima dan emban sehari-hari. Buku “Filsafat Untuk Para Profesional”(Kompas, 2016) yang dieditori oleh F Budi Hardiman ini menawarkan kepada kita cara untuk memberi makna dan menghargai setiap profesi yang kita geluti. Karena buku ini menawarkan cara, maka kita juga bisa menemukan, ternyata filsafat juga tidak hanya ilmu kritis, tetapi juga metode studi yang kritis. Metode berfilsafat bukan hanya menuntut keterampilan menggunakan ‘alat’, tetapi ada semacam panggilan untuk berfilsafat. Orang bisa saja menguasai filsafat Marxisme tanpa menjadi Marxis dalam analisa-analisa dan esai-esainya.

“Filsafat Untuk Para Profesional” menyajikan kepada kita 10 esai tulisan 8 filosof dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta tentang berbagai profesi. A Setyo Wibowo mengangkat refleksi filosofis pemikir Yunani Antik Platon tentang persahabatan dalam rangka komitmen profesi. Setiap relasi persahabatan selalu berbentuk segitiga: aku, engkau, dan kepentingan. Kita tidak perlu munafik untuk mengakui kepentingan. Sejauh kepentingan kita mempunyai tujuan dan nilai yang sama, kita masih bisa tetap bersatu. Profesionalitas adalah medan pertarungan kreatif. Sejauh kita mampu merumuskan nilai dan tujuan bersama, kita tidak perlu mengorbankan persahabatan.

B. Herry-Priyono menggunakan terang pemikiran Epikuros untuk para konsultan diet. Atas nama kesehatan, orang bisa saja bertindak manipulatif. Misalnya dengan mengkonsumsi secara rakus atau menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru. Maka, sang filosof mengajak orang-orang untuk hidup menuju sehat yang otentik: belajar dari para kebijaksanaan para dewa sambil tetap menjadi manusia.

Franz Magnis-Suseno berfilsafat bersama “Hegel tentang Para Pembantu Rumah Tangga”. Sang filosof berbicara kuasa, keterampilan, dan ketergantungan. Pembantu rumah tangga cepat atau lamban akan menguasai beberapa pekerjaan dan manajemen rumah tangga. Sementara itu, ketergantungan tuan rumah bisa saja semakin besar kepada pembantu rumah tangga. Oleh karena itu, hormatilah orang-orang kecil yang membantu kita!

S.P. Lili Tjahjadi yang merupakan seorang imam diosesan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) merefleksikan kritik atheisme Ludwig Feuerbach dan Karl Marx terhadap dan untuk para agamawan. Kaum agamawan sebagai pemimpin spiritual diajak untuk menjadi bijak untuk menyingkirkan tudingan Feuerbach bahwa agama adalah proyeksi seruan kelemahan manusia terhadap kerinduannya menjadi besar. Para pemimpin agama juga harus menarih perhatian pada kritik sosial ekonomi Marx yang melihat agama sebagai candu.

F. Budi Hardiman meneliti perancang busana dan pialang saham dengan menggunakan pemikiran Georg Simmel. Kota-kota metropolitan, seperti Jakarta, hampir selalu ditandai dengan perlombaan busana dan kecenderungan bermain saham. Pada fashion dan saham, orang-orang mendefinisikan diri. Budi Hardiman memberi awasan sejak awal: tidak ingin ‘mengadili’ dua profesi tersebut.

J. Sudarminta mengkritik Marcuse sambil merekomendasikan pengamalan kode etik iklan bagi perusahaan iklan. Marcuse yang terkenal dengan karyanya “One Dimensional Man” memotret masyarakat industrial dan menilainya termakan kebahagiaan semua di bawah bayang-bayang sebuah sistem ekonomi totaliter dan produksi kapitalis.

Berturut-turut Thomas Hidya Tjaya dan A Sudiarja mengkritisi para perawat tubuh, turis, peziarah, dan pengembara. Thomas menggunakan terang pemikiran “Merlau-Ponty untuk Para Perawat Tubuh”. Dengan cahaya pemikiran Bauman, Sudiardja menyatakan, beralih, pergi, mengembara, berziarah, dan melakukan wisata adalah panggilan dalam diri manusia. Kemampuan untuk memilih sikap ketika sedang mengembara dan bepergian adalah tanggung jawab eksistensial yang memperkaya diri seseorang.

Sastrawan sebagai profesi direfleksikan J Sudarminta. Sastrawan bahkan lebih diagungkan sebagai penyampai kebenaran dan penular solidaritas daripada kaum filosof. Pemikiran ini berasal dari filosof postmodernisme Amerika Serikat Richard Rorty. Namun, Sudarminta membuat pertimbangan rasional. Rorty benar untuk memberi tempat yang seluas-luasnya kepada para sastrawan, kepada dunia wacana induktif, pada bahasa sebagai pesta dan perayaan. Namun, tidak perlu mutlak seperti itu. Pemikiran yang ketat seperti filsafat harus juga mendapat tempat. Jadi, filosof dan sastrawan itu bisa duduk bersama dan saling belajar. Tanpa perlu saling meniadakan.

Sang editor F Budi Hardiman menutup rangkaian artikel dalam buku ini dengan refleksi “Heidegger dan Para Pensiunan”. Tidak bisa dipungkiri, akan selalu ada post-power syndrome dan rasa kesepian untuk para pensiunan. Maka, kecerdasan untuk mencandra kehidupan dan kebijaksaan untuk menerima dan menikmati hari tua sebagai waktu yang sama bermaknanya adalah sebuah kebutuhan dan kebijaksaan yang tinggi juga.

****

Dua kritik untuk buku ini mungkin perlu dilontarkan. Pertama, para penulis semuanya filosof profesional. Kritik-kritik mereka, kecuali Lili Tjahjadi, menulis seluruhnya dari perspektif filosofis tanpa pembaruan horison dengan praktisi atau pekerjaan di bidang masing-masing. Para penulis mungkin bisa saja membuat dialog dan wawancara dengan masing-masing profesional, namun akan menjadi lebih baik bila penulis adalah profesional yang juga penyuka atau pembelajar filsafat. Tidak terlihat juga (kritik) filsafat (untuk) kaum filosof?!

Kedua, kendati buku ini adalah kumpulan tulisan yang dipilih, namun sebagai pembaca kita pasti mengharapkan refleksi-refleksi filosofis untuk beberapa profesi penting yang mendesak saat ini seperti para politisi, anggota angkatan bersenjata, praktisi hukum, ekonom, dan lain-lain. Namun, kritik kedua ini disadari penuh tidak terlalu mendesak mengingat banyak juga refleksi filosofis tentang profesi-profesi penting tersebut di buku-buku filsafat lainnya.

****

Indonesia diagung-agungkan sebagai emerging market dengan potensi yang luar biasa baik sumber daya alam maupun bonus demografis. Bonus demografis akan membuka peluang dan kesempatan untuk kita menempati dan menggeluti banyak profesi. Jika tidak hati-hati, kita bisa jatuh dalam perangkap masyarakat kelas menengah yang puas dengan pekerjaan dan penghasilan, sambil tidak pernah menyadari bahwa kita mungkin ada dalam kebahagiaan semu sebagaimana yang disinyalir Marcuse. Kita hanya menjadi alat-alat yang efektif bekerja untuk sistem ekonomi dan produksi kapitalis.

Buku ini hadir tepat waktu. Buku ini adalah sebuah cara kreatif supaya kita mampu menarik jarak tertentu di tengah euforia puja-puji atas bangsa ini. Kita memang membutuhkan pekerjaan dan wajib merasa bangga atas profesi yang kita geluti dan emban. Akan tetapi, kita diberi tantangan untuk memeriksa apakah kita telah jatuh ke dalam lembah workaholic, terhegemoni sebuah sistem, ataupun menjadi ‘mesin’ pekerja yang otomatistik.

Selamat mencandra kehidupan. Selamat menarik makna dari pekerjaan kita masing-masing. Selamat berbahagia.

*) Agustinus Tetiro, Producer “Sky Is The Limit” di IDX Channel (Sabtu, 10:00 WIB) dan kontributor IndonesiaSatu.co

Komentar