Breaking News

OPINI Merefleksikan Pancasila 01 Jun 2020 08:30

Article image
Tatkala Pancasila yang pada 1 Juni 1945 dikenalkan Soekarno pada sidang Dokuritsu Zunby Chosa-kai - oleh dunia dianggap sebagai magnum opus Indonesia. (Foto: Jalan Damai)
Pancasila saat ini mengalami tantangan yakni tekanan pengaruh luar dan penggembosan dari dalam.

Oleh John Sinartha Wolo, S.Fil., M.Hum

 

PRESIDEN Joko Widodo pada tanggal 1 Juni 2016 menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Dengan ini seisi bangsa diajak merefleksikan kembali relevansi Pancasila. Semua warga negara berkewajiban mengetahui bahwa Pancasila belum sepenuhnya menjadi leitstar atau guiding star dalam perjalanan bangsa.

Tantangan Pancasila

Pancasila saat ini mengalami tantangan yakni tekanan pengaruh luar dan penggembosan dari dalam. Mengutip Ajar Triharsono, minimnya sosialisasi nilai-nilai Pancasila menguntungkan  ideologi predator luar antara lain, pertama, liberalisme-kapitalisme dengan semangat individualisme, konsumerisme dan pasar bebas. Kedua, ideologi sektarianisme agama yang bermuara pada radikalisme dan terorisme. Ketiga, ideologi primordialisme atau nasionalisme sempit berupa gerakan separatisme.

Liberalisme sukses mengacaukan jati diri  bangsa melalui modernisasi pendidikan dan pembangunan ekonomi yang berkiblat pada model industrialisasi negara-negara Barat. Alhasil, karena liberalisme, lahir ketimpangan yang menganga di bidang ekonomi, dehumanisasi, dekadensi moral, dan berhala pada uang. Orang lalu memelesetkan sila ke-1 Pancasila menjadi keuangan yang mahakuasa. Konon, ada penelitian yang mengatakan bahwa saat ini Indonesia lebih liberal dari negara liberal. Indonesia menjadi  taman bermain ideologi liberalisme dan habis-habisan dikuliti oleh kekuatan-kekuatan luar.

Tantangan dari dalam terutama disebabkan oleh ulah elite yang bukan hanya tidak melaksanakan, tetapi secara brutal berpartisipasi menghancurkan Pancasila. Tatkala Pancasila yang pada 1 Juni 1945 dikenalkan Soekarno pada sidang Dokuritsu Zunby Chosa-kai - oleh dunia dianggap sebagai magnum opus Indonesia - elite saat ini dengan pongah melecehkan cerita sukses tersebut.

Saat mengikuti sesi kuliah daring mata kuliah Filsafat Pancasila bersama Prof. Dr. H. Suko Wiyono, S.H., M.H., pada 17/5/2020, beliau mengajukan kepada kami (Mahasiswa S3 Hukum Unej Angkatan 2019) pertanyaan, “Apa UU yang banyak didemo?” Seluruh mahasiswa serentak menjawab, “Semua UU, Prof”. Berdasarkan penjelasan beliau terkait pertanyaan di atas, dapat saya rangkum demikian, banyak undang-undang di Indonesia yang pasca dibentuk, disambut dengan cibiran. Itu karena undang-undang tidak memformulasikan nilai Pancasila, tetapi memindahkan kepentingan-kepentingan politisi/elite - yang belum naik kelas menjadi negarawan - ke dalam naskah hukum, lalu mewajibkan masyarakat untuk patuh melaksanakannya. Padahal, UU menempati posisi penting dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia. Penjabaran makna Pancasila secara yuridis termanifestasi, salah satunya, dalam UU. Mengutip Yonky Karman, alih-alih menyerap aspirasi masyarakat, para elite memperjuangkan nilai tambah kaum berpunya.

Masih segar dalam ingatan publik, pada tahun 2012, ditinjau dari 169 perkara di PUU yang ditangani Mahkamah Konstitusi dan 97 perkara yang telah diputus saat itu, 30 perkara di antaranya dikabulkan. Artinya, sebanyak 31 persen produk legislasi, terutama undang-undang yang diuji Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan dibatalkan atau bertentangan dengan konstitusi. Banyaknya undang-undang yang diuji materi di kantor Mahkamah Konstitusi memberikan kesan bahwa DPR bukan representasi hukum dan sosial yang ampuh, melainkan pemasok persoalan karena gagal menerjemahkan nilai Pancasila ke dalam naskah hukum.

Contoh lain. Sabtu, 17/09/2016 dini hari, KPK melakukan operasi tangkap tangan (ott). Publik tercengang karena yang terjaring ott adalah anggota DPD, yang konon pada waktu itu dianggap bersih. AM Fatma, Ketua Badan Kehormatan DPD RI sekaligus tokoh senior di DPD pada saat itu mengaku sempat kehilangan selera makan, sebab ott ini menimpa Irman Gusman, pucuk pimpinan DPD yang waktu itu dikenal santun. Ott pagi buta, oleh Irman Gusman, sebagaimana ciutan klarifikasi beliau melalui twitter, menyebut sebagai hal yang wajar, sebab adalah kewajiban baginya untuk menerima semua tamu yang datang. Ia juga tidak bisa melarang tamu membawa sesuatu, semisal uang. Pada waktu itu, ia meminta masyarakat agar tidak mendahului hakim. Belakangan, tersiar kabar se Indonesia, lewat lembaga peradilan, beliau divonis hakim bersalah. Sebagai weltanschauung bangsa - orang paham bahwa makna Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi dan Keadilan – secara kultural tidak membenarkan silaturahmi pagi buta, dimana pengusaha datang lengkap dengan bingkisan upeti (baca:uang) berjumlah fantastis. Yonky Karman pernah mengingatkan bahwa korupsi di Indonesia bukan lagi soal oknum karena modusnya dalam semangat kerbersamaan, berjenjang, lintas sektoral, bahkan antara yang diawasi dan yang mengawasi. Yang terjaring dalam operasi tangkap tangan hanya sedang apes.

Cerita berikutnya, ketika Corona menyisir Indonesia, ada dewan pusat yang bertamasya bersama keluarga ke luar negeri. Jepretan foto plesir di negeri Eropa itu menghiasi lini media sosialnya. Padahal di dalam negeri, yang diwakilinya - rakyat - kadung gelisah jangan sampai corona menyasar cepat ke setiap warga.

Teranyar, cerita konser amal yang dipunggawai MPR dan BPIP yang kisahnya berhasil memuncaki trending topic di twitter. Panitia bersama pengisi acara, dengan senyum melebar, berbaris tanpa masker, melakukan sesi foto bersama. Mereka berdiri bukan main rapatnya. Protokol kesehatan dilanggar, sementara di mana-mana negara secara masif menghimbau masyarakat untuk patuh terhadap protokoler tersebut. Di acara tersebut, outputnya kontraproduktif dengan misi dan atribut yang diemban di pundak MPR dan BPIP. Masyarakat lalu dihipnotis untuk melantunkan orkes harmoni, harmoni yang membawa bangsa ke tragedi. Berjubel cerita serupa dipajangkan para elite penguasa di etalase yang dinamakan Indonesia. Ini merupakan format lain dari tragedi zaman penjajahan kompeni dan bala tentara Dai Nippon.

 

Revolusi Mental Elite

Variabel utama kokoh tidaknya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm - Philosophisce Gronslag, ditentukan oleh citra para penguasa. Merekalah yang berada di garda depan bangsa dalam upaya mensosialisasi, menjaga dan menerjemahkan nilai luhur Pancasila dalam tindakan nyata. Komitmen elite dalam menjaga Pancasila bisa menjadi asupan teladan bagi rakyat untuk memaknai hidup berbangsa dan bernegara secara tepat berlandaskan semangat Pancasila. Kehadiran mereka diharapkan mampu menjernihkan kesemrawutan mental masyarakat, misalnya, nasionalisme dangkal - bela merah putih hanya dalam hal-hal yang bersifat simbolik.

Lalu saat ini Ibu Pertiwi merayakan hari lahir Pancasila dengan semangat yang tidak lagi satu. Negara mengalami apa yang oleh Ajar Triharsono katakan sebagai krisis kebersamaan, yaitu kondisi krisis nilai-nilai masyarakat yang diformulasikan oleh para founding fathers and mothers. Tersingkap kisah bahwa ada yang salah dengan elite yang kemudian memengaruhi perilaku masyarakat. Banyak orang mulai pesimis melihat masa depan. Namun, pesimisme itu jangan sampai berubah menjadi apatisme. Saatnya semua bersatu menegaskan kembali komitmen yang sudah  disampaikan Soekarno pada 1 Juni 1945. Soekarno menyiapkan alternatif Ekasila, jika anggota sidang Dokuritsu Zunby Chosa-kai berkeberatan dengan Pancasila dan Trisila. Ekasila itu dinamainya gotong royong. Seisi negara terpanggil untuk transformasi kultural lewat revolusi mental, dan secara gotong royong memahami tupoksinya masing-masing dalam mengisi ruang kemerdekaan ini, dan memaknai secara bijaksana prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan. Terutama, kita semua terpanggil untuk menghayati kesadaran tentang kebangsaan. Prinsip ini yang 75 tahun silam, pada Juni 1945, mampu membawa Indonesia menjadi negara kesatuan, mengatasi segala perbedaan dan menumpas setiap bentuk penindasan.

Menyitir Taufiq Ismail dalam sebuah sajaknya, meski “masih dibayangi masa lalu yang kelam, sementara masa depan yang jadi impian belum pasti. Tetapi kita harus berjalan terus. Karena berhenti atau mundur berarti kita hancur”.

 

Penulis adalah mahasiswa program doktor Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Jember Dosen Pendidikan Pancasila

Tags:
Pancasila

Komentar