Breaking News

MAKRO Optimisme di Balik Bayang-Bayang Krisis 2018 03 Nov 2017 08:27

Article image
Ilustrasi kesenjangan ekonomi yang sangat jelas terlihat di ibukota Jakarta. (Foto: Ist)
Jika akselerasi perbaikan ekonomi di dalam negeri lebih cepat dari perburukan situasi yang dipicu oleh Amerika, maka selamatlah Indonesia.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Situasi ekonomi lokal dan global hari ini dibayang-bayangi ketidakpastian. Ada sedikit harapan perbaikan ekonomi nasional yang menggeliat sepanjang 2017, namun di hadapan dihadang oleh ancaman krisis 2018 yang cukup menegangkan.

Tak bisa dipungkiri, sejak September 2015, Indonesia mulai memasuki periode krisis baru. Ditandai dengan pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh ke level Rp14.600 per dolar AS, ditambah guncangan ringan di sektor perbankan.

Saat itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat stress test, atau tes kekuatan menghadapi guncangan krisis. Maka dalam stress test itu dimasukkan situasi, jika rupiah menembus level Rp15.000 per dolar AS, maka sedikitnya ada 23 bank yang satu cluster, akan berdampak buruk dan layak ditutup.

OJK mengambil kebijakan yang bertolak belakang dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998 untuk mengatasi situasi tersebut. Kalau IMF menggunakan resep kebijakan uang ketat (tight money policy–TMP), maka OJK menempuh kebijakna anti siklis, yakni melakukan pelonggaran-pelonggaran kebijakan kredit.

Sehingga 23 bank aman dan tidak ada penutupan bank, karena memang tidak terjadi rush di sektor perbankan. Bentuknya, dengan meng—off--kan regulasi yang terkait dengan kredit dan permodalan selama dua tahun. Seperti ketentuan kredit bermasalah (non performing loan–NPL), aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR), maupun ketentuan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio—CAR), selama dua tahun tidak berlaku meskipun masih dalam pengawasan.

Untung saja, rupiah terus menguat hingga ke level Rp13.000, sehingga bank-bank yang mulai terbatuk-batuk itu kini mulai pulih. Walaupun tersisa satu bank yang sedang kebingungan mencari pemilik baru.

Di tengah ketidakpastian global, pertumbuhan ekonomi pada Triwulan II 2017 mencapai 5,01% dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita semakin meningkat. Inflasi rendah dan stabil dan masih berada dalam sasaran target 4%.

Defisit transaksi berjalan Triwulan II 2017 membaik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Surplus perdagangan selama Januari–September 2017 memperoleh nilai tertinggi sejak tahun 2012.

September 2017, semua aturan kredit dan permodalan yang sempat di–off--kan OJK di—on—kan kembali karena situasi ekonomi sudah membaik. Dengan cara demikian, OJK di bawah kepemimpinan Muliaman D. Hadad berhasil mencegah terjadinya gempat perbankan selama periode September 2015 hingga September 2017.

Pertanyaannya, apakah kita sudah aman dan lolos dari krisis? Tidak, bisa saja krisis dimulai pada 2018, tergantung seberapa siap dan karakter krisis yang akan terjadi pada 2018.

Krisis keuangan atau krisis finansial biasanya terjadi dalam beberapa tahun ke depan. Indonesia sendiri pernah mengalami dua kali masa krisis yaitu pada 1998 dan 2008. Siklus tersebut lebih dikenal dengan krisis 10 tahunan. Hal yang sama juga diprediksi akan terjadi pada 2018 berselang 10 tahun dari masa krisis.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan belajar dari dua krisis keuangan yang terjadi, pemerintah telah mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat menyebabkan krisis keuangan terjadi lagi pada 2018. Sejauh ini, pemerintah telah memperkuat sejumlah faktor.

“Sebetulnya kalau kita belajar dari dua krisis 1997-1998 dan 2008-2009 penyebabnya sama sekali berbeda. Dunia terus melakukan perbaikan dalam memonitor berbagai indikator,” ujar Sri Mulyani di Gedung Pusat Direktorat Jenderal Pajak beberapa hari lalu, sebagaimana dilansir Nusantara News.com.

Menkeu mengatakan penyebab krisis 1998 salah satunya dipicu oleh neraca pembayaran Indonesia yang tidak menentu. Nilai kurs yang tidak fleksibel dan cenderung tidak bersahabat terhadap kondisi pasar disebut menjadi pemicu krisis tersebut.

“Krisis 1997-1998 trigernya Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Negara di Asia relatif punya kurs tidak fleksible atau bahkan fix. Maka di satu titik mereka alami ketidaksinkronan adanya nilai tukar yang berbeda dari trade sektor. Dan ketidaksinkronan itu memunculkan spekulasi. Risiko seperti ini sudah jadi pembelajaran,” jelasnya.

Kemudian pada krisis 2008, disinyalir disebabkan oleh produk derivatif yaitu munculnya produk-produk baru berbasis teknologi dengan resiko tersembunyi. Sehingga pecahlah krisis subprime mortgage yang terjadi di Amerika. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan akan terus mengantisipasi hal ini.

Menkeu menambahkan tahun ini pemerintah telah melakukan simulasi penanganan krisis. Simulasi tahun ini difokuskan untuk menguji keterterapan atau bagaimana penerapan UUNo. 9/2016 mengenai Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).

Adapun, beberapa kementerian lembaga yang terus berkoordinasi mengantisipasi krisis keuangan diantara Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Kementerian Keuangan. Koordinasi juga di dalam pengambilan keputusan di dalam rangka penanganan bank bermasalah.

“Simulasi tersebut juga menguji peraturan pelaksanaannya, yang terkait dengan resolusi bank apabila mereka menghadapi kondisi krisis atau kesulitan,” jelasnya.

Artinya, Sri sangat optimistis dengan sitausi ekonomi hari ini. Bahkan telah menyiapkan formula untuk menghantisipasi kalau-kalau pada 2018 ekonomi benar-benar memburuk.

Ancaman krisis

Optimisme Menkeu di atas ternyata dibayang-bayangi oleh situasi tidak menentu pada 2018, bahkan cenderung mengarah ke krisis. Perekonomian menghadapi situasi lain dari kenaikan suku bunga di AS dengan rupiah berada dalam tekanan dalam beberapa pekan terakhir. Rupiah telah terdepesiasi lebih dari 3% terhadap dolar sejak mencapai level tertinggi 10 bulan di bulan September 2017.

Mata uang tersebut juga turun karena rencana pemotongan pajak presiden AS mendorong penguatan dolar AS. Presiden Donald Trump memperoleh persetujuan awal dari kelompok konservatif pada akhir September 2017 untuk rencana yang telah lama dinanti yang akan memotong pajak perusahaan dari 35% menjadi 20%.

“Tentu pengumuman Presiden Trump tentang reformasi perpajakan, menurunkan tingkat suku bunga, menciptakan kembali tekanan bagi Indonesia,” kata Menkeu.

Dengan Federal Reserve memulai pengetatan kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga lebih lanjut dan pembalikan neraca keuangannya, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate bulan Oktober 2017 setelah delapan tingkat pemotongan sejak awal tahun lalu. Efek penuh dari pelonggaran-pelonggaran yang agresif tersebut belum melindungi ekonomi yang lebih luas, kata Sri.

Transmisi pemotongan suku bunga pinjaman “bisa jauh lebih efisien,” kata Menkeu. “Tapi saya pikir itu akan datang, mungkin dengan lag antara 12 hinga 18 bulan, artinya hasilnya hanya bisa dinikmati awal tahun depan atau pertengahan tahun depan.”

Meskipun pelonggaran bank sentral, pertumbuhan kredit tetap tidak bersemangat. Pinjaman bank tumbuh hanya 7,86% pada September 2017 dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Menurut OJK, pertumbuhan itu lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata lebih dari 10% dua tahun lalu.

Melihat kinerja ekonomi Indonesia 2017, ada optimistme menghadapi krisis 2018 walaupun ada juga kecemasan. Menkeu mencoba untuk mendorong penerimaan pajak dan bertujuan untuk meningkatkan tax ratio terhadap PDB dari sekitar 11% menjadi 16% pada tahun 2019. Sebuah proposal yang mendukung amandemen pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai sedang dipersiapkan, kata Menkeu. sekaligus juga memperingatkan bahwa Indonesia harus waspada terhadap dampak pemotongan pajak terhadap pendapatan.

Jika perburukan situasi global seperti yang terjadi di Amerika lebih cepat dampaknya terhadap perbaikan-perbaikan yang dilakukan di dalam negeri, maka Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka, akan kembali menghadapi krisis 2018. Namun jika akselerasi perbaikan ekonomi di dalam negeri lebih cepat dari perburukan situasi yang dipicu oleh Amerika, maka selamatlah Indonesia.

--- Sandy Javia

Komentar