Breaking News

NASIONAL PADMA Indonesia Desak Menaker Segera Percepat MoU dengan Malaysia 14 Dec 2019 23:05

Article image
Direktur Eksekutif PADMA Indonesia, Gabriel Goa. (Foto: Dokpri GS)
“Hingga akhir 2019, kita mencatat ada 116 pekerja dari NTT yang meninggal. Setelah MoU yang diperkuat dengan dokumen perlindungan pekerja migran, kita berharap tidak ada lagi kasus kekerasan PMI di negeri Jiran,” pungkas Gabriel.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Pemerintah Indonesia dan Malaysia berkomitmen untuk meningkatkan perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang bekerja di Malaysia. Keduanya juga berkomitmen untuk menyelesaikan sejumlah prosedur penempatan dan perlindungan PMI yang belum terselesaikan.

Komitmen tersebut terungkap dalam pertemuan Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziyah dan Menteri Dalam Negeri Kerajaan Malaysia, Tan Sri Dato' Hj. Muhyiddin bin Hj. Mohd. Yassin, di Jakarta, Selasa (10/12/19).

Sesuai rilis yang diterima media ini,Beberapa point penting yang dibicarakan yaitu kebijakan imigrasi seperti Foreign Worker Centralized Management System (FWCMS), e-Visa Dengan Rujukan (e-VDR), Imigration Security Clereance (ISC), dan usulan Indonesia dalam draft MoU yang mencakup inisiasi penempatan melalui mekanisme One Channel Recruitment.

Kebijakan One Channel dalam rekrutmen ini sangat penting bagi Indonesia dan Malaysia agar semua proses terkonsolidasi, terkoordinasi, dan terdata dengan baik.

Pasca pertemuan Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziyah dan Menteri Dalam Negeri Kerajaan Malaysia, Tan Sri Dato' Hj. Muhyiddin, Direktur Eksekutif Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia, Gabriel Goa mendesak agar Menaker segera mempercepat kerjasama (MoU) dengan Malaysia.

“Kami mengapresiasi upaya Menaker untuk membuat Revisi MoU Penempatan dan Perlindungan PMI ke Malaysia yang telah berakhir sejak 2015 lalu. Termasuk upaya membuat layanan One Channel dalam upaya perlindungan PMI agar semua proses terkonsolidasi, terkoordinasi, dan terdata dengan baik. Karena itu, kami mendesak agar Menaker segera mempercepat MoU dengan Malaysia,” ujar Gabriel.

Gabriel menjelaskan, Menaker telah mendapat masukan yang salah terkait rencana untuk mengevaluasi kebijakan imigrasi Malaysia seperti FWCMS, e-VDR (Visa Dengan Rujukan), dan ISC terhadap Pekerja Migran Indonesia.

Karena itu, kata Gabriel, sebagai mitra kerja, pihaknya berkewajiban memberi masukan kepada Menaker.

PADMA Indonesia mengaku mengetahui persis bahwa sebenarnya ada tiga kebijakan FWCMS, ISC dan OMNI (One Stop Service) yang harus dibahas.

“Sayangnya, masukan (si pembisik, red)hanya menyampaikan dua kebijakan dan melupakan OMNI,” terang Gabriel.

Dia mengungkapkan bahwa menurut kajian dan penelusuran PADMA, posisi Indonesia justru diuntungkan dengan adanya pengetatan dokumen terkait PMI yang akan ke Malaysia.

Dia menjelaskan bahwa sebelum ada FWCMS, e-VDR dan ISC, PMI berangkat melalui visa kunjungan dan setelah tiba di Malaysia, baru diurus visa kerjanya oleh majikan sehingga perlindungan PMI tidak terjamin.

"Dengan adanya kebijakan FWCMS, proses visa bisa 1 hingga 3 hari yang sebelumnya mencapai 3 bulan. Hal ini berarti, PMI tidak perlu menunggu lama di penampungan, namun cepat berangkat ke Malaysia sesuai kompetensi dan persyaratan yang sudah diperoleh," katanya.

Keuntungan dengan adanya ISC, lanjut Gabriel, dapat mendeteksi lebih dini status PMI sebelum diberangkatkan ke Malaysia. Jika dari deteksi ini diketahui PMI itu sudah black list, maka prosesnya tidak dilanjutkan.

Gabril menerangkan bahwa, dari perhitungan sebelum adanya pengetatan imigrasi ini, kerugian majikan sitaksir sekitar Rp. 25 juta per PMI. Selain itu, tanpa pengetatan imigrasi, kalaupun ada PMI yang berhasil masuk dan bekerja di Malaysia, karena tidak kompeten, maka akan menjadi sumber kekerasan oleh majikan karena kesal sudah membayar mahal PMI untuk datang ke Malaysia.

"Data ISC yang kami peroleh, tercatat bahwa pada tahun 2018 yang berhasil mendapat lulus tes sidik jari di kantor ISC di Indonesia yaitu 86.405 (95%), sementara yang gagal yakni 4.432 (5%). Di tahun 2019, jumlah yang berhasil tes sidik jari yaitu 74.167 (94%) dan yang gagal 4.608 (6%)," paparnya.

Dari data ISC selama 2 tahun ini kita melihat ada  9.040 PMI gagal tes sidik jari. Ini berarti, P3MI tidak perlu melanjutkan proses selanjutnya.

Gabriel mencontohkan, sebelum berangkat, setiap PMI wajib direkam datanya melalui biometrik di kantor-kantor ISC dan kantor P3MI di seluruh Indonesia. Setelah dicek datanya PMI itu bermasalah, maka hari itu juga PMI tidak akan mendapatkan visa. Itu berarti Perusahaan Penempatan PMI tidak perlu melanjutkan proses dokumennya.

Masukan MoU

Direkrut PADMA mengatakan bahwa terkait MoU yang diharapkan tahun 2020 akan segera dilakukan, terdapat beberapa point yang perlu dimasukkan.

Pertama, evaluasi kebijakan pengurusan visa di kedutaan Malaysia melalui lembaga bernama OMNI yang meminta biaya pengantaran dokumen (one stop service) sebesar Rp 1 juta bagi PMI.

PADMA berharap agar Menaker meminta pemerintah Malaysia untuk mencabut izin OMNI karena hal ini merugikan P3MI. Apalagi OMNI selama beroperasi lebih dari 5 tahun lebih ini setiap diundang rapat BNP2TKI maupun Kemanaker tidak pernah hadir.

“OMNI ini jelas dikelola oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Sayangnya, orang dalam Menaker tidak memberi tahu Ibu Menteri soal ini agar menjadi bahan pembicaraan dengan Menteri KDN Tan Sri Dato' Hj. Muhyiddin. Padahal OMNI tidak lebih sebagai calo saja,” sorot Gabriel.

Kedua, soal Double Medical Check Up.

PADMA mengharapkan agar dalam pengurusan sertifikasi kesehatan ini cukup dilakukan di Indonesia saja dan tidak perlu ada pengetesan ulang PMI ketika tiba di Malaysia.

"Ini soal kedaulatan negara karena jika kebijakan ini terus dipertahankan, kredebilitas dunia kedokteran kita akan mendapat imej sedang dalam masalah," sarannya.

Ketiga, soal perlindungan PMI, PADMA meminta agar Menaker memanfaatkan  forum-forum regional di ASEAN maupun forum Multilateral negara-negara pengirim pekerja ke Malaysia untuk merumuskan dokumen bersama perlindungan pekerja migran di Malaysia.

"Diplomasi perlindungan bersama ini akan terbukti lebih efektif jika Indonesia merumuskan besama perlindungan buruh migran di Malaysia dengan negara-negara sending workers seperti Vietnam, Kamboja, Myanmar, Srilangka, Bangladesh dan India," ujarnya.

Gabriel menilai, revisi pembaharuan MoU ini diperlukan menyusul adanya PMI yang bermasalah di Negeri Jiran itu mulai dari bekerja tanpa izin sah, terlibat kasus hukum, hingga korban penyiksaan atau eksploitasi.

“Hingga akhir 2019, kita mencatat ada 116 pekerja dari NTT yang meninggal. Setelah MoU yang diperkuat dengan dokumen perlindungan pekerja migran, kita berharap tidak ada lagi kasus kekerasan PMI di negeri Jiran,” pungkas Gabriel.

--- Guche Montero

Komentar