Breaking News

OPINI Penguatan Kewaspadaan Nasional di Tahun Politik 31 Jan 2019 15:28

Article image
Valens Daki-Soo, politisi dan pendiri - Pemimpin Umum portal berita IndonesiaSatu.co. (Foto: ist)
Sayangnya, sepanjang sejarah kemerdekaan, Pancasila dan sistem pemerintahan negara yang oleh founding fathers disebut sebagai “Sistem Sendiri” belum pernah diimplementasikan secara konsisten.

Oleh Valens Daki-Soo


“Eternal vigilance is a price of liberty” (kewaspadaan terus-menerus adalah harga dari sebuah kebebasan), kata Thomas Jefferson, Presiden ke-3 AS, konseptor Declaration of Independence dan pembuat undang-undang kebebasan beragama di Virginia pada akhir abad 18. 

Jefferson menyadari, kebebasan individual yang menjadi syarat liberalisme itu harus dibarengi dengan kewaspadaan. Bila tidak, rakyat Amerika yang majemuk itu akan terjebak dalam konflik berkepanjangan yang membahayakan keutuhan bangsa. Waspada berarti juga mampu melihat jauh ke depan, memperkirakan risiko apa yang akan dihadapi sebagai akibat digulirkannya suatu kebijakan strategis. Hal itu seraya disertai kemampuan untuk melakukan menajemen risiko agar tujuan strategis tersebut bisa tetap terjaga dan tercapai.

Dalam hal kemajemukan, terdapat persamaan antara Bangsa Amerika dan Bangsa Indonesia, karenanya semboyan kebangsaan pun sangat mirip, yaitu ”E Pluribus Unum” dan ”Bhinneka Tunggal Ika”. Bagi kedua bangsa, terjaganya keseimbangan dan harmoni sosial dalam kondisi majemuk merupakan kepentingan nasional utama yang harus senantiasa dijaga dan diwaspadai.

Sesungguhnya dalam beberapa hal seperti adat-istiadat, budaya dan agama, kemajemukan bangsa Indonesia jauh lebih luas dan lebar daripada Bangsa Amerika. Oleh karena itu, kewaspadaan Bangsa Indonesia dalam mengelola dan mengantisipasi ancaman yang bersumber dari kemajemukan ini, seharusnya jauh lebih tinggi dari Bangsa Amerika. Kegagalan pemerintah dalam mengelola kemajemukan dapat menggiring Indonesia menjadi negara gagal, atau bahkan ke dalam disintegrasi bangsa. 

Bangsa Indonesia telah memiliki Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, sekaligus berfungsi juga sebagai perekat bangsa. Para "founding fathers" juga telah merumuskan dan menetapkan sistem kerakyatan atau demokrasi yang berciri sistem perwakilan dan musyawarah-mufakat dalam pengambilan keputusan, serta sistem kenegaraan atau sistem pemerintahan negara yang biasa disebut sebagai "Sistem Sendiri" dengan lembaga MPR. 

Pancasila serta sistem kerakyatan dan kenegaraan tersebut diyakini sebagai sistem yang sangat cocok untuk Bangsa Indonesia dalam mengelola kemajemukan. Namun sayangnya, sepanjang sejarah kemerdekaan, sejak era Bung Karno dan Pak Harto belum pernah dilaksanakan secara konsekuen. Pada era reformasi bahkan sistem tersebut telah dirombak dan digantikan oleh sistem liberal. 

Karakteristik Indonesia, secara demografis memiliki jumlah penduduk nomor 4 terbesar di dunia, dengan kemajemukan yang sangat lebar secara multidimensional. Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang dalam peta global memiliki letak sangat strategis, serta sarat dengan kekayaan alam. Dalam kondisi seperti itu, Indonesia menjadi incaran banyak pihak, terutama negara-negara hegemonis-predatoris. Berbagai kepentingan global pasti beredar di bumi Nusantara, dan dapat dipastikan pula akan bersentuhan bahkan menjadi ancaman bagi kepentingan nasional. Dalam konteks inilah Bangsa Indonesia mutlak memerlukan kewaspadaan nasional.

Masalah Fundamental 

Ditinjau dari aspek geografis, tanah air kita memiliki tiga karakteristik utama, yaitu pertama, sebagai negara kepulauan (terbesar di dunia) dengan tujuh belas ribu lebih pulau berikut bentangan garis pantai yang panjangnya ratusan ribu mil. Kedua, terletak pada “posisi silang” yang amat strategis, antara dua benua dan dua samudera. Ketiga, memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang amat melimpah. 

 

Konsekuensi dari ciri negara kepulauan seperti digambarkan tadi adalah kesulitan dalam hal kontrol wilayah dan mewujudkan keseimbangan ekonomi. Sedangkan ciri letak strategis dan kekayaan SDA mengakibatkan beredarnya berbagai kepentingan asing di Indonesia. Sulitnya kontrol wilayah dan mewujudkan keseimbangan ekonomi, benturan antara berbagai kepentingan asing, serta pergesekan dengan kepentingan nasional, dapat melahirkan pelbagai macam konflik dan ancaman bagi Indonesia. 

Secara demografis, bangsa ini selain jumlah penduduknya besar (nomor empat terbesar di dunia), juga memiliki kebhinnekaan yang sangat luas dalam berbagai bidang dan dimensi kehidupan seperti ras/etnik, agama, bahasa, adat-istiadat, sosial, ekonomi dan lain-lain. 

Kita juga masih memiliki masalah penyebaran penduduk yang tidak proporsional. Pulau Jawa yang luasnya kurang dari 7% luas daratan Indonesia, dihuni oleh 57,5% penduduk Indonesia (BPS). Dalam ciri demografis ini, selain tersimpan berbagai potensi bangsa, juga sekaligus terkandung potensi konflik dan ancaman yang cukup besar.

Secara kultural, Bangsa Indonesia memiliki ciri budaya kolektivisme dengan keunggulan seperti gotong-royong, kekeluargaan, kebersamaan, kebiasaan bermusyawarah, serta tolerasi yang tinggi. Namun juga terdapat kelemahan sebagaimana diungkapkan oleh antropolog Prof. Dr. Koentjaraningrat, yaitu sikap feodal, minder atau rendah diri, malas, munafik, dan suka mencari kambing hitam. 

Dalam hal ini yang dimaksud dengan feodal adalah sikap yang memandang status sosial sebagai tujuan hidup, sehingga melahirkan “hasrat berburu kekuasaan” (libido politik) yang berlebihan atau overdosis, melanda semua lapisan masyarakat. Selain merasuki para politisi, juga merambah para pengusaha, artis, cendekiawan, sampai tokoh agama. 

Dihadapkan pada sistem demokrasi liberal yang bercirikan pertarungan bebas (free fight) dan langsung, serta sistem otonomi daerah sebagai persyaratan demokrasi liberal, sementara pada sisi lain tingkat kedewasaan politisi kita juga pada umumnya masih lemah, maka kelemahan kultural tadi kerap menimbulkan konflik politik yang meluas, dari pusat sampai ke daerah. 

Dengan demikian, secara natural/kodrati dapat dikatakan bahwa di Indonesia tidak ada satu aspek pun (geografis, demografis, sosial, budaya) yang tidak mengandung potensi konflik sekaligus ancaman. Apabila sistem dan praktek pemerintahan negara kita keliru atau tidak sesuai dengan realitas lingkungan strategis yang dihadapi, niscaya secara internal bangsa ini akan selalu dibayangi ancaman perpecahan, dan secara eksternal negara ini hanya akan menjadi mainan para kapitalis dari negara-negara maju.

Menilik karakteristik Indonesia seperti tergambarkan di atas, maka terdapat dua pekerjaan rumah (PR) akbar yang seharusnya menjadi induk dari rencana pembangunan nasional, yaitu upaya mewujudkan “integrasi internal” yang maksimal agar dapat dicapai tingkat kohesivitas tinggi yang ditandai oleh harmoni dalam keanekaragaman. Selain itu, upaya mewujudkan “adaptasi eksternal” agar mampu melakukan pembaruan dan modernisasi dalam rangka pembangunan nasional, serta membina hubungan internasional yang egaliter, damai, saling menghargai dan saling menguntungkan.

Dalam upaya mewujudkan dua PR akbar tersebut, founding fathers/pendiri negara yang tergabung dalam BPUPKI telah merumuskan nilai dasar yang harus dianut dan dijadikan pegangan dalam kehidupan berbangsa-bernegara, yaitu Pancasila. Secara konsepsional rumusan Pancasila telah lama menjadi pemikiran Bung Karno, Bung Hatta, Bung Yamin dll. Kemudian menjadi resmi/formal setelah diangkat dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan menjadi legal setelah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.

Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa (Weltanschauung), dan dasar negara (staat fundamentalnorm), serta berfungsi pula sebagai pemersatu bangsa. Pancasila digali oleh Bung Karno dari akar budaya bangsa sendiri yang sudah lama berkembang bahkan sudah mendarah-daging dalam masyarakat di Nusantara seperti spirit kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, keramah-tamahan, budi pekerti dan sebagainya. Nilai luhur budaya bangsa tersebut kemudian dipadukan dengan ideologi serta filosofi yang telah berkembang secara global. 

Oleh karenanya, rumusan Pancasila dapat dikatakan sebagai buah perkawinan cantik antara lokalisme dan universalisme, juga antara idealisme dan realisme, sehingga membumi, sangat cocok untuk bangsa Indonesia karena berakar dan bersumber pada ranah keindonesiaan yang ideal sekaligus realistis, visioner dan terbaik dalam upaya mempersatukan bangsa serta mencapai “tujuan nasional”. 

Prof. Syafii Maarif mengapresiasi Pancasila sebagai ”masterpiece” (karya agung) anak bangsa dan Jacob Oetama menyebutnya sebagai hasil pemikiran cerdas yang mendahului zamannya.

Dalam bingkai Pancasila, para founding fathers juga telah merumuskan konsep kebangsaan tersendiri yang khas dan lebih lengkap dibanding dengan rumusan kebangsaan seperti teori Ernest Renan, Otto Bauer dan para pakar kebangsaan dunia lainnya. 

Ernest Renan mendefinisikan nasionalisme sebagai “jiwa”, suatu asa kerohanian yang dibentuk oleh adanya kesamaan dan kemuliaan sejarah masa lampau, kemudian membentuk keinginan untuk hidup bersama, merupakan solidaritas berskala besar serta kesamaan visi masa depan. Otto Bauer mengatakan nasionalisme adalah suatu kesamaan perangai atau karakter yang terbentuk karena perasaan senasib. Lalu Dr. Hertz dalam bukunya “Nationality in History and Politics”, mengemukakan empat unsur nasionalisme: hasrat untuk mencapai persatuan, hasrat untuk mencapai kemerdekaan, hasrat untuk mencapai keaslian dan hasrat untuk mencapai kehormatan. 

Namun, dengan mempertimbangkan karakteristik Indonesia serta faktor sejarah terbentuknya kebangsaan, para founding fathers memiliki pandangan serta konsepsi sendiri tentang Kebangsaan Indonesia. Bung Karno dan para pendiri negara lainnya menganggap pemikiran Renan dan Bauer sudah kuno, karena hanya mengangkat aspek manusia semata. Pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, Bung Karno menegaskan bahwa Kebangsaan Indonesia harus pula disertai dengan kecintaan dan tanggung jawab akan “tempatnya”. Yang dimaksud dengan tempat adalah tanah air beserta segenap kekayaan sumber daya alamnya. Dengan kata lain, “antara bangsa dengan tanah air harus pula menjadi satu kesatuan”. 

Senada dengan Bung Karno, Bung Hatta mengatakan Kebangsaan adalah “sesuatu yang berhubungan dengan perasaan terikat dengan tanah air”. Formula kebangsaan rumusan para bapak bangsa ini merupakan nilai sekaligus pedoman yang mengandung makna bahwa kita harus menjaga, memelihara dan memanfaatkan sumber daya alam secara bertanggung jawab, hingga terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta bermanfaat bagi generasi bangsa di kemudian hari.

Selanjutnya para bapak bangsa telah pula merumuskan konsep kerakyatan/demokrasi, sebagaimana jiwa dari sila ke-4 yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Inu merupakan roh sistem demokrasi ala Indonesia, suatu cara berdemokrasi yang dijiwai kolektivisme, mengusung nilai kebersamaan-kekeluargaan. 

Prinsip demokrasi Pancasila adalah ”keterwakilan” dengan mengedepankan egalitarianisme, bukan “keterpilihan”. Sebagai contoh empiris, seharusnya suku-suku di Papua, Dayak, Badui, Anak Dalam dan berbagai kelompok etnis/minoritas diwakili dengan cara “ditunjuk”, bukan dipilih – karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan langsung melalui free fight ala sistem demokrasi liberal – agar kepentingan mereka dapat diperjuangkan di parlemen. Keterwakilan juga merupakan perekat bagi masyarakat/bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia. Sebagai perbandingan, Suku Eskimo dan Mohawk di Kanada yang sudah sangat minim jumlahnya, mendapat wakil di parlemen dengan cara ditunjuk. Sementara praktek demokrasi di Indonesia dewasa ini yang sangat liberal dengan mengutamakan keterpilihan, justru “membunuh” prinsip keterwakilan dan egalitarianisme.

Prinsip lainnya adalah mengedepankan ”musyawarah-mufakat”, dalam upaya memperoleh keputusan yang mengandung “hikmat kebijaksanaan/kearifan”, dengan berpijak pada kualitas ide/rasionalitas, bukan pada kuantitas suara. Ide rasional dan cemerlang yang muncul dari kelompok minoritas, dapat menjadi keputusan bersama lewat mekanisme musyawarah-mufakat. Dengan demikian, sistem demokrasi Pancasila justru memancarkan “respek terhadap minoritas”, sebagai bagian tak terpisahkan dari kemajemukan bangsa yang bersifat kodrati. 

Sebenarnya salah kaprah yang fatal jika demokrasi diidentikkan dengan voting karena hal itu hanyalah salah satu cara dalam berdemokrasi. Musyawarah mufakat dan penunjukan berdasarkan asas egalitarian pun merupakan cara berdemokrasi yang elegan, benar, etis, dan rasional, yang secara obyektif sangat tepat diterapkan dalam konteks keindonesiaan. Bahkan sejak 1958 sistem demokrasi tersebut dikembangkan oleh beberapa negara di Eropa dengan sebutan “Consociational Democracy” (demokrasi konsensus). Negara-negara Skandinavia pun menerapkan sistem demokrasi seperti ini. Model demokrasi seperti ini juga telah lama mengakar dalam masyarakat Jepang yang mereka istilahkan sebagai “nemawashi”, dan tetap eksis serta diterapkan secara konsisten hingga kini, dalam sistem kenegaraan, kemasyarakatan, maupun korporasi.

Perlu dipahami bahwa sistem demokrasi (apapun) bukan seperti makanan cepat saji yang bisa dipasarkan di mana-mana. Dia bukan merupakan ide statis yang diletakkan di ruang hampa, melainkan harus ditempatkan dan disesuaikan dengan realitas tatanan sosial-budaya masyarakat lokal/domestik. Dengan kata lain harus dikawinkan dengan nilai-nilai yang sudah berkembang dalam suatu masyarakat atau bangsa. 

Oleh karena itu demokrasi sangatlah variatif. Pemaksaan suatu sistem demokrasi (demokrasi liberal sebagai misal) dalam suatu tatanan masyarakat/bangsa pada hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri.

Sistem kenegaraan atau sistem pemerintahan negara yang dijiwai oleh Pancasila telah dirumuskan pula oleh para bapak bangsa. Pokok substansinya dapat kita temukan dalam “empat pokok pikiran” yang ada pada penjelasan Pembukaan UUD 1945. Empat pokok pikiran ini seharusnya berfungsai sebagai pedoman pokok dalam menyusun sistem kenegaraan, maka harus terelaborasi dalam batang tubuh UUD 1945. 

Namun, sebagaimana kita ketahui, penjelasan UUD 1945 termasuk penjelasan tentang pembukaannya telah dihilangkan (dengan sengaja?) dalam amandemen yang lalu, sehingga batang tubuh UUD hasil amandemen tidak lagi dijiwai oleh pembukaannya. Sesungguhnya pedoman pokok tersebut bersifat ideologis, sehingga tidak boleh berubah. Mengubah pedoman pokok berarti mengubah ideologi bangsa/negara.

Struktur batang tubuh UUD yang dijiwai Pancasila atau merupakan penjelmaan dari empat pokok pikiran tadi adalah sebagaimana UUD 1945 asli, yang antara lain ditandai dengan eksistensi MPR: sebagai lembaga tertinggi negara, pusat kedaulatan rakyat, lembaga pembuat UUD dan berhak meng-amandemennya, pembuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta memilih dan mengangkat Presiden Wakil Presiden. Terdiri dari anggota DPR yang dipilih serta Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang ditunjuk. Susunan MPR ini dimaksudkan untuk membulatkan keterwakilan rakyat Indonesia yang kebhinnekaannya amat lebar. 

Namun demikian, bukan berarti UUD 1945 asli tersebut sudah sempurna sehingga tabu untuk diamandemen. Para perumusnya sendiri telah membuat pasal 37 yang mengindikasikan sikap visioner mereka, bahwa amandemen adalah suatu kebutuhan masa datang. Namun sekali lagi, amandemen UUD tidak boleh menyimpang dari Pancasila sebagaimana tercermin dalam empat pokok pikiran yang menjadi pedoman pokok di atas.
Sistem kebangsaan, kerakyatan dan kenegaraan tersebut di atas merupakan nilai-nilai fundamental yang menjadi bagian dari sistem nilai Indonesia yang dijiwai dan berada dalam bingkai “Pancasila”. 

Masalah Aktual

Sayangnya, sepanjang sejarah kemerdekaan, Pancasila dan sistem pemerintahan negara yang oleh founding fathers disebut sebagai “Sistem Sendiri” tersebut belum pernah diimplementasikan secara konsisten. Pada era Orla (Bung Karno), MPR selalu bersifat sementara sehingga menjadi MPRS, dan label S tersebut memberi akses kepada eksekutif untuk mengendalikan MPR. Bung Karno juga menerima keputusan untuk menjadi presiden seumur hidup, dan secara kontradiktif memaksakan Nasakomisasi yang justru bertentangan dengan Pancasila. 

Lalu pada era Orba (Pak Harto), kendati label S dalam MPR sudah ditiadakan, namun rekrutmen keanggotaan MPR sepenuhnya berada dalam satu tangan yaitu presiden, sehingga kooptasi MPR oleh eksekutif terus berlanjut. Pada era ini terjadi banyak deviasi atau penyimpangan dalam implementasi Pancasila karena kepentingan kekuasaan. 

Pada era reformasi, nilai-nilai tersebut justru dirontokkan dan diganti dengan nilai asing individualisme-liberalisme yang sangat tidak cocok dengan basis kulturalis bangsa kita. Akibat yang terjadi adalah munculnya kebebasan nyaris tanpa batas dan keterbukaan amat lebar. Hemat saya berawal dari sinilah kemudian secara derivatif bermunculan berbagai permasalahan bangsa-negara. Pergeseran nilai ini seperti membuka kotak pandora sehingga kerap terjadi turbulensi politik/pemerintahan yang diwarnai anarkhisme, masalah hukum yang kian membesar, dominasi asing dalam ekonomi nasional, serta pergeseran budaya yang kian menjauh dari akarnya. Demi kebebasan dan demokrasi kita telah menyingkirkan sekat-sekat pengaman kehidupan berbagsa-bernegara berdasarkan nilai-nilai Pancasila, sehingga memberi karpet merah bagi masuknya berbagai ancaman. 

Sumber ancaman “dari luar” yang perlu diwaspadai adalah pertama, “hegemoni global” terutama yang datang dari negara yang perilakunya hegemonis-predatoris, khususnya Barat pimpinan Amerika Serikat, serta Republik Rakyat China (RRC). Kedua, “Ideologi Transnasional” yang bertentangan dengan Pancasila, seperti: Liberalisme, Khilafahisme, dsb. Ketiga, “kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Kalau kita tidak bisa mengikutinya secara intens dan mampu memanfaatkannya secara efektif, maka kemajuan tersebut akan digunakan negara-negara maju untuk memperdaya kita sehingga Indonesia akan tetap terbelakang.

Kemajemukan Bangsa Indonesia dengan spektrum yang sangat lebar-multidimensional, selain menjadi kekayaan dan keunggulan bangsa, juga sekaligus menjadi sumber ancaman “dari dalam”. Kekeliruan mengelola kemajemukan ini dapat menimbulkan malapetaka, dan dapat menyeret Bangsa Indonesia ke dalam perpecahan. 

Kelemahan Bangsa Indonesia seperti diungkapkan oleh Koentjaraningrat, potensial menjadi penghambat kemajuan bangsa, bagi upaya mencapai tujuan kemerdekaan, bahkan dapat dieksploitasi oleh pihak-pihak lain yang tidak menginginkan Indonesia stabil, maju dan menjadi negara kuat. 

Dalam situasi kekinian, perpolitikan global juga sedang diwarnai, pertama, oleh kemunculan “politik identitas”, sebagai jawaban terhadap globalisasi dengan kemajuan teknologi terutama teknologi informasi yang telah menghilangkan batas/sekat identitas kelompok, baik berdasarkan ras/etnik, agama, budaya, atau ciri primordial lainnya. Keinginan kelompok-kelompok tersebut untuk tetap eksis secara politik, ekonomi maupun budaya, pada gilirannya telah memunculkan politik identitas. 

Kemunculan politik identitas di Indonesia pada kenyataannya telah didominasi oleh warna agama seperti yang tercermin dalam pilkada DKI Jakarta lalu. Manakala agama yang sakral dimasukkan dalam ranah politik praktis yang cenderung kotor, fitnah, menghalalkan segala cara, maka akan melahirkan “iklim konflik” dalam kehidupan beragama. Bila suasana konflik tersebut terjadi antar agama, niscaya akan ditanggapi oleh umat/pengikutnya masing-masing dengan sangat emosional. Dengan demikian perkembangan politik identitas ini sangat tidak sehat, rawan, berbahaya dan menjadi ancaman bagi Pancasila, keutuhan bangsa dan kelangsungan negara. 

Kedua oleh kemunculan “gerakan populisme”. Dalam pengertian sederhana, populisme adalah gerakan massa-rakyat yang tidak berdasarkan kelas, melawan segelintir elite penguasa mapan dan korup, tidak demokratis serta hanya mementingkan diri sendiri. John B. Judis menyebut populisme sebagai sebuah ‘logika politik,’ sebuah cara berpikir tentang politik, dan bukan sebuah ideologi. 

Populisme mempunyai beragam varian, namun persamaannya semua memiliki kecurigaan terhadap elite, semua memusuhi elite , membenci mainstream politics (arus utama dalam politik), dan institusi yang mapan. Dalam spektrum ideologis, populisme ada di kiri maupun di kanan. Judis menyebut populisme kiri bersifat dyadic karena hanya mengeksploitasi pertentangan antara antara massa-rakyat dengan kaum elite, sementara populisme kanan bersifat triadickarena melawan ke atas dan juga ke samping pada kelompok-kelompok horisontal. Gerakan ini menjadi berbahaya (terutama di Indonesia) karena dalam upaya memenangkan tujuan politiknya seringkali dilakukan dengan menghalalkan segala cara, seperti menyebarkan berita hoax dan fitnah. Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta yang lalu, nampak jelas adanya sinergi antara politik identitas dengan gerakan populisme. 

Politik identitas dan populisme ini sangat mungkin digunakan oleh negara-negara hegemonis-predatoris dan kelompok-kelompok radikal yang ingin mewujudkan kepentingannya dan memaksakan ideologinya di Indonesia. Pada sisi lain, maraknya kedua hal tersebut dalam skala global, termasuk di Indonesia sangat sulit untuk dicegah, apalagi dilarang. Hanya mungkin bisa dibatasi/dikanalisasi oleh regulasi yang ketat. 

Dalam jangka panjang, pembangunan karakter dengan penyemaian nilai-nilai luhur bangsa khususnya Pancasila, akan menjadi filter yang sangat ampuh bagi pencegahan bahaya/ancaman yang ditimbulkan oleh politik identitas dan gerakan populisme. 

Wujud nyata dari ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri di atas dapat berupa: lunturnya Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa; intoleransi; pembusukan politik; pembajakan negara; korupsi; konflik SARA; serangan cyber; narkoba; terorisme; separatisme; pemberontakan bersenjata; serta invasi militer asing (walaupun kini kemungkinannya sangat kecil).

Khusus tentang kerawanan di Tahun Politik 2019, selain datang dari penggunaan politik identitas yang bersinergi dengan gerakan populisme, dapat pula muncul dari tingginya “pragmatisme” para elit dalam berpolitik. Pragmatisme overdosis ini telah menyingkirkan prinsip ideologi (Pancasila) dalam berpolitik.

Kerawanan lainnya akan muncul bila TNI-Polri bersikap tidak netral dan belum siap melaksanakan tugas pengamanan pemilu, termasuk menyiapkan rencana kontinjensi yang akurat dalam menghadapi kemungkinan situasi terburuk. Selain itu, kerawanan bisa juga muncul dari sikap para pejabat yang tidak profesional dan tidak netral di Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). Tidak netral, tidak profesional dan tidak bersihnya (rawan disuap) para pejabat tersebut niscaya akan menimbulkan ketidakpuasan yang dapat bermuara pada kerusuhan.

Persepsi ancaman yang datang dari luar maupun dari dalam seperti digambarkan di atas, serta peta kerawanan di Tahun Politik itulah yang seharusnya membangunkan kita, seraya membentuk kewaspadaan kolektif bangsa, agar pemilu dapat berjalan dengan aman dan lancar, serta terhindar dari permainan asing yang memiliki kepentingan besar di Indonesia.     

Rekomendasi

Menghayati dengan mendalam nilai dasar dan masalah fundamental keindonesiaan kita serta menyadari masalah-masalah aktual bangsa dan negara berikut ancamannya, baik yang nyata maupun potensial, khususnya dalam menghadapi “Tahun Politik” ini, maka urgen bagi Bangsa Indonesia untuk segera membangun “kewaspadaan nasional yang bersifat multidimensional". 

Kewaspadaan nasional multidimensional dapat menjamin terkawalnya kepentingan nasional hingga terwujudnya cita-cita kemerdekaan. Upaya tersebut akan berhasil lewat langkah-langkah sebagai berikut:

Dalam jangka pendek, upaya yang bersifat urgen adalah:

1. Terkait kemajemukan Indonesia yang sangat lebar-multidimensional, serta ancaman ideologi-ideologi transnasional; “negara harus mengatasi segala paham golongan dan perorangan” (pokok pikiran dalam Penjelasan Pembukaan UUD 1945).

2. KPU, Bawaslu dan Panwaslu, harus benar-benar netral dan profesional, serta harus benar-benar bersih atau anti rasuah/korupsi dan kebal sogokan.

3. TNI-Polri harus netral dan senantiasa siap menghadapi tugas pengamanan Pemilu sesuai fungsi masing-masing.

4. Elit Politik tidak menggunakan politik identitas dalam berpolitik; tidak menggunakan ujaran kebencian dalam berorasi; tidak Machiavellian; harus memiliki kesadaran akan ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar; serta harus mendahulukan kepentingan nasional dari pada kepentingan golongan dan perorangan.

5. Segenap masyarakat harus bisa memilih dengan cerdas dan kritis serta menggunakan hak pilihnya secara independen; tidak saling cemooh/cerca; tidak tergoda oleh iming-iming politik uang; harus memiliki kesadaran akan ancaman; serta membangun kewaspadaan kolektif dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam jangka panjang Bangsa Indonesia harus berupaya membangun kewaspadaan multidimensional lewat langkah-langkah strategis sebagai berikut:

6. Kembali kepada Pancasila dan spirit dasar Pembukaan UUD 1945, dengan melakukan kaji ulang terhadap UUD 2002, serta merevisi semua UU turunannya yang bertentangan dengan Pancasila.

7. Melakukan reformasi Parpol dan birokrasi, dengan cara memfungsikan parpol sebagaimana mestinya, menghindari digunakannya parpol hanya sekadar kendaraan politik yang diperjual-belikan. Juga mewujudkan meritokrasi di lingkungan birokrasi.

8. Membangun ketahanan dan daya saing ekonomi nasional, melaksanakan pasal 33 UUD 1945 ayat (1) sampai dengan (3) dengan konsekuen, mengkanalisasi dampak globalisasi serta liberalisasi ekonomi dengan membuat regulasi yang berpihak pada kepentingan rakyat dan kepentingan nasional.

9. Melakukan penataan dan penegakan hukum.

10. Terpenting adalah melakukan pembangunan karakter (character building) secara terencana, terpadu dan berkesinambungan. Pembangunan karakter harus menjadi kebijakan pemerintah pusat maupun daerah, serta menjadi leading sector dalam pembangunan nasional.

 

Penulis adalah politisi dan pendiri - Pemimpin Umum portal berita IndonesiaSatu.co

 

*Tulisan ini adalah materi presentasi pada peringatan HUT ke-25 PMKRI Cabang Maumere, 29 Januari 2019

Komentar