Breaking News

KESEHATAN Penyakit Akibat Merokok Paling Banyak Sedot Dana BPJS Kesehatan 29 Jun 2019 08:28

Article image
Ilustrasi perokok. (Foto: merdeka.com)
Selama tahun 2018 saja, tercatat Rp 20,4 Triliun telah dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk membiayai penyakit katastropik. Bahkan kanker paru saja masih menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia dengan 1,8 juta jiwa.

TIGA jenis penyakit tak menular disebut punya andil besar menyedot dana BPJS Kesehatan. Tiga penyakit tersebut yakni jantung, stroke, dan kanker.  Disebutkan, tiga penyakit tersebut lebih dominan disebabkan oleh gaya hidup merokok.

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam laporannya Mei 2019, mengumumkan hasil audit terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan atas temuan defisit anggaran sebesar Rp 9,1 Triliun. Penyebab defisit ditengarai karena tingginya jumlah peserta BPJS Kesehatan , yang menderita penyakit tidak menular, seperti jantung, stroke, dan kanker.

Selama tahun 2018 saja, tercatat Rp 20,4 triliun telah dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk membiayai penyakit katastropik. Bahkan kanker paru saja masih menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia dengan 1,8 juta jiwa.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Dr dr Agus Dwi Susanto, SpP(K), mengatakan, data World Health Organization (WHO) tahun 2018 memperlihatkan, rokok merupakan penyebab utama dari kanker paru-paru. Kontribusinya bisa lebih dari 2/3 kematian secara global.

"Perokok akan terekspos ancaman kanker 13 kali lipat lebih tinggi dibandingkan non-perokok," tutur Dr Agus di Jakarta, Rabu (26/6/2019).

Sementara itu, Pakar Kesehatan Publik dan Ketua Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI) dr Rosa Christiana Ginting, Betr.med, MHP, HIA, AAK, menyayangkan ironi banyaknya perokok di Indonesia. Padahal rokok bisa jadi salah satu faktor risiko kanker paru-paru.

"Kita juga harus mempertimbangkan bahwa perokok sering menghadapi gejala withdrawal yang merupakan akibat dari proses berhenti merokok," ucap dr Rosa seperti dilansir okezone.com, Rabu (26/6/2019).

Berdasarkan pengalaman perokok yang gagal berhenti, biasanya mengalami gejala seperti tremor, kecemasan, berkeringat secara berlebihan, hiperaktif, peningkatan detak jantung, bahkan mual dan muntah. Ini merupakan variasi dari gejala withdrawal. Maka sangat penting untuk melihat alternatif, yang tepat guna membantu seseorang berhenti merokok.

Pada 2018 saja, WHO melaporkan bahwa terdapat 30,4% perokok Indonesia, yang berusaha berhenti merokok. Namun hanya 9,4% di antaranya yang berhasil.

Visiting Professor dari Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of SingaporenTikki Pangestu menjelaskan, pakar kesehatan dan dokter perlu lebih terbuka akan pendekatan lain demi berhenti merokok. Banyak cara yang sudah diimplementasikan di negara maju.

Salah satunya dengan Electronic Nicotine Delivery System (ENDS), yang dapat membantu perokok yang ingin berhenti atau beralih ke produk alternatif. Bukti-bukti ini sudah cukup untuk dijadikan petunjuk bagi para pemegang kebijakan.

Lembaga penelitian kesehatan Public Health England melaporkan, pada paruh pertama 2017, tercatat lebih dari 20.000 perokok dewasa di Inggris berhenti merokok sepenuhnya. Hal ini merupakan tingkat kesuksesan tertinggi dalam sejarah.

"Laporan ini juga menyebutkan bahwa ENDS memiliki peran yang signifikan dalam mengurangi jumlah perokok di Inggris," kata Tikki.

Dalam laporan lain, riset peer-review yang dipublikasikan di Journal of Addiction Mei 2019 berjudul “Moderators of real world effectiveness of smoking cessation aids: a population study” menunjukkan bahwa penggunaan ENDS diasosiasikan dengan tingkat berhenti merokok yang cukup tinggi.

Juga berdasarkan data Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia, sekira 1,2 jiwa menggunakan vape sebagai pengganti kebiasaan merokok. Namun banyak penelitian yang pro dan kontra terhadap vape.

"Sekarang waktu yang tepat bagi Indonesia untuk memulai penelitian lokal secara komprehensif dan berkualitas. Karena bisa jadi solusi untuk mengurangi angka perokok di Indonesia,” tutup Rosa.

--- Simon Leya

Komentar