Breaking News

POLITIK Perludem: UU Pemilu Disahkan Tanpa Perbaikan Berarti 23 Jul 2017 13:20

Article image
Ketua DPR Setya Novanto menyerahkan UU Pemilu pada Menteri Dalam Negeri, dalam Paripurna DPR, Jumat (21/7/2017). (Foto: Ant)
UU Pemilu tersebut tidak memberikan perbaikan terhadap bangunan sistem politik dan dasar hukum penyelenggaraan pemilu kedepan.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- DPR dan Pemerintah akhirnya menyepakati dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu menjadi Undang-undang (UU Pemilu) pada Jumat (21/7/2017) dini hari.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyambut gembira pengesahan UU Pemilu tersebut karena menjadi payung hukum bagi pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 mendatang.

Walau demikian, muncul kritik tajam terkait undang-undang tersebut. Bahkan, sejumlah fraksi opisisi di DPR, yang dimotori oleh Gerindra, berupaya melakukan judicial review terhadap UU Pemilu tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khorunnisa Agustyati mengatakan, UU Pemilu tersebut tidak memberikan perbaikan terhadap bangunan sistem politik dan dasar hukum penyelenggaraan pemilu kedepan. Perdebatan panjang yang terjadi selama ini, hanya berkisar pada kepentingan jangka pendek partai politik saja.

Menurutnya, UU Pemilu yang baru saja disahkan, justru tidak menyentuh dan memperbaiki bagian peningkatan intergritas penyelenggaraan pemilu. “Salah satunya adalah, jumlah minimal sumbangan dari perseorangan dan koorporasi dalam kampanye meningkat dua kali, sementara tidak diikuti dengan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan,” ujarnya melalui siaran pers, Sabtu (22/7/2017).

Khorunnisa mengatakan, UU Pemilu tersebut justru mencabut kewenangan KPU dalam membentuk daerah pemilihan DPRD Provinsi. Selain itu, daerah pemilihan DPR RI masih menjadi lampiran dalam Undang-Undang. Padahal, katanya, pembentukan daerah pemilihan menjadi kewenangan KPU dalam rangka menciptakan equal playing battle field. Karena itu, Undang-Undang Pemilu hanya mengatur prinsip serta tata cara pembentukan daerah pemilihan.

Perdebatan lima isu krusial, yaitu ambang batas pencalonan presiden, parliamentary threshold, besaran daerah pemilihan, sistem pemilu legislatif, dan metode konversi suara menjadi kursi, kata Khorunnisa, sulit dibantah hanya bertujuan kepentingan jangka pendek Pemilu 2019. Apalagi, isu ambang batas pencalonan presiden, yang dalam batas penalaran yang wajar, sangat terang bertentangan dengan Pasal 6 A Ayat (2) UUD 1945.

 

Jadwal Molor

UU Pemilu yang baru disahkan mengamanatkan kepada penyelenggara pemilu untuk memulai tahapan pemilu 20 bulan sebelum hari pemungutan suara (Pasal 167 ayat (3)). Itu berarti, tahapan pemilu harus sudah dimulai pada Agustus 2017. Hal ini berdasarkan kesepakatan pembahasan RUU Pemilu yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 dilakukan pada April 2019.

“Melihat jadwal ini hampir dipastikan penyelenggara pemilu tidak akan dapat memenuhi waktu tersebut karena undang-undang ini tidak dapat langsung digunakan karena masih menunggu proses penomoran, dan masih terdapat sejumlah hal yang belum tuntas seperti lampiran undang-undang yang belum siap,” kata Peneliti Perludem Heroik Pratama menambahkan.

Seperti diketahui, pengambilan keputusan akhir UU Pemilu diwarnai aksi walkout oleh empat fraksi partai politik yakni, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Fraksi Partai Demokrat.

Satu isu penting penyebab aksi walkout yaitu terkait perdebatan apakah ambang batas pencalonan presiden masih relevan untuk diterapkan di dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 atau tidak.

Mayoritas partai politik pendukung pemerintah (PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, dan Hanuara) menyetujui ambang batas pencalonan presiden tetap diberlakukan di pemilu serentak 2019. Sementara empat partai lainnya (Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat) keberatan dan menolak ambang batas pencalonan presiden diterapkan dalam Pemilu 2019.

---

Komentar