Breaking News

OPINI Pindah Ibu Kota, Menghitung Untung-Ruginya 09 May 2019 16:04

Article image
Tugu Soekarno, tempat Presiden Soekarno meresmikan pembangunan Kota Palangkaraya pada 17 Juli 1957. Monumen terletak di jantung Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. (Foto: Markurius S/kompas.com)
Terlampau banyak persoalan perkotaan di Jakarta akhir-akhir ini: terlalu banyak penduduk, kendaraan, dan bangunan. Memindahkan ibu kota dapat mengurangi persoalan di atas.

Oleh Simon Leya

 

TEKAD Presiden Joko Widodo (Jokowi) memindahkan ibu kota negara tampaknya tidak lagi sebatas wacana. Sempat dibicarakan pada 2017 dengan mengatakan ada tiga kota yang sedang dikaji tanpa menyebut spesifik kotanya, Jokowi lagi-lagi membicarakan rencana pemindahan pada rapat terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/4/2019).

Awal pekan ini, Jokowi secara langsung meninjau beberapa lokasi yang menjadi calon ibu kota di Kalimantan. Setelah memantau beberapa lokasi, Jokowi “jatuh hati” pada kawasan Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Menurut Jokowi, lahan Gunung Mas paling siap untuk ibu kota baru pemerintahan Indonesia.

"Kalau dari sisi keluasan, di sini mungkin paling siap. Mau minta 300 ribu hektare ya siap di sini. Kalau kurang masih tambah lagi juga siap," kata Jokowi di lokasi peninjauan yang berada di kawasan Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, Rabu (8/5/2019).

Kota Palangkaraya sudah dilirik Presiden Soekarno pada tahun 1950-an sebagai ibu kota pengganti Jakarta. Wijanarka, dalam bukunya berjudul 'Sukarno & Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya', menulis alasan Soekarno memilih Palangkaraya "karena berada persis di tengah NKRI, di tengahnya Indonesia.” Selain itu, Kota Palangkaraya tidak berada di jalur gempa dan gunung berapi.

Alasan pemindahan ibu kota ke lokasi yang lebih strategis dan mudah dijangkau sudah dilakukan oleh banyak negara. BBC (30/4/201930) menulis, Russia adalah salah satu contoh negara yang memindahkan ibu kotanya dari St Petersburg ke Moscow.

St Petersburg, didirikan oleh Petrus Agung pada 1703 dan menjadi ibu kota Rusia sejak 1712-1918. Alasan utama pemindahan adalah karena Kota Moscow berada di tengah dan lebih kecil kemungkinan untuk diinvasi dengan mudah oleh negara lain.

Pada 1960, Brazil memindahkan ibu kotanya dari   Rio de Janeiro yang padat di selatan ke Brasilia yang letaknya agak ke tengah negara itu.

Tujuh tahun kemudian tepatnya pada 1967, Pakistan memindahkan ibu kotanya dari Karachi di selatan ke Islamabad. Alasan pemindahan karena Islamabad dipandang lebih mudah dijangkau dari berbagai wilayah Pakistan dibandingkan Karachi.

Pada 1991, Nigeria memindahkan ibu kotanya dari Lagos ke Abuja. Seperti Brazil, alasan pemindahan karena Lagos sudah overcrowding.

 

Persoalan Jakarta

Kota berpenduduk sekitar 10 juta jiwa ini terancam tenggelam. Separuh wilayah berada di bawah permukaan laut. Penyedotan air tanah yang terus-menerus untuk berbagai keperluan mempercepat proses penurunan muka tanah.

Heri Andreas dari Institut Teknologi Bandung mengatakan bahwa 95 persen Jakarta Utara akan tenggelam pada 2050, demikian dilaporkan BBC News. Jakarta juga mengalami banjir parah sekali dalam satu dekade. Selain itu, kerugian akibat kemacetan lalu lintas mencapai 7 miliar dolar AS (Rp 98 triliun) per tahun, demikian ditulis The Jakarta Globe.

Deden Rukmana, pengajar pada Department of Community and Regional Planning Alabama A&M University dengan spesialisasi pembangunan perkotaan, sejak 2008 menganjurkan agar Indonesia secepatnya memindahkan ibu kotanya.

Menurutnya, terlampau banyak persoalan perkotaan di Jakarta akhir-akhir ini: terlalu banyak penduduk, kendaraan, dan bangunan. Memindahkan ibu kota dapat mengurangi persoalan di atas.

Gelombang urbanisasi telah menghancurkan lahan pertanian di sisi selatan dan mengubahnya menjadi kawasan komersial dan pemukiman. Akibatnya, banjir melanda seluruh kota.

“Kita perlu tempat lain untuk dibangun,” kata Rukmana kepada earther.gizmodo.com (30/4/2019).

Tidak hanya Kota Jakarta yang sudah penuh sesak oleh persoalan urbanisasi. Pulau Jawa secara keseluruhan sebenarnya sudah over populasi.

"Di Jawa, populasi (penduduk) adalah 57 persen dari total penduduk Indonesia, atau lebih dari 140 juga orang,  to the point bahwa kemampuan untuk menyokong ini, baik itu persoalan lingkungan, air atau lalu lintas di masa depan, tidak akan mungkin. Karena itu saya memutuskan untuk pindah ke luar Jawa," kata Jokowi seperti dikutip ecowatch.com (3/5/2019) dari The Financial Times.

Karena itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang P.S. Brodjonegoro menilai  keputusan Presiden Jokowi yang memindahkan ibu kota ke luar Jawa sebagai keputusan yang penting.

 

Dampak dan Biaya

Meskipun demikian, di tengah entusiasme sehubungan dengan rencana pemindahan ibu kota, pemerintah perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan seperti disuarakan seorang siswa di Palangkaraya.

"Saya harap kota akan berkembang dan pendidikan akan sebaik Jakarta. Tapi semua lahan dan  hutan yang saat ini kosong akan digunakan. Kalimantan adalah paru dunia, dan saya cemas, kita akan kehilangan hutan yang tersisa," katanya seperti dikutip ecowatch.com dari BBC News (3/5/2019).

Ada biaya ekonomi dan geopolitik yang besar untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan seperti ditulis voanews.com (10/1/2018). Pulau Kalimantan tidak sepenuhnya milik Indonesia tapi juga bagian dari wilayah Malaysia, dan Brunei. Akan terjadi ketidakseimbangan secara geopolitik bila salah satu negara memerintah dari sana.

Kalimantan Tengah juga memiliki akses laut yang rendah dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Indonesia.

Dengan perpindahan tersebut, maka kantor-kantor partai politik ikut pindah. Demikian juga kantor-kantor lembaga peradilan dan Mahkamah Agung ikut pindah bersama Istana Negara. Markas militer ikut pindah.

“Akan ada ratusan ribu yang membutuhkan rumah dan kantor,” kata Wakil Presiden Yusuf Kalla setahun yang lalu.

Pemerintah wajib mempertimbangkan pembangunan kota agar tidak sampai memperburuk lingkungan Pulau Kalimantan. Masalahnya, pulau yang kaya akan aneka hayati tersebut sudah lama mengalami penggundulan hutan untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit dan industri lainnya. Kalimantan juga menjadi rumah bagi spesies orangutan yang terancam punah.

 

Penulis adalah Pemimpin Redaksi IndonesiaSatu.co

Komentar