Breaking News

REGIONAL Proses Sertifikat Tanah Bandara: Jika Pemda Matim Ngotot, Suku Roka Siap Tilang 09 Nov 2017 14:45

Article image
Eras Mbea, Ketua Ulayat Roka. (Foto: ist)
Menurut Eras, pihaknya mengakomodir keinginan Pemda Matim dan suku-suku yang mengklaim sebagai pewaris atas tanah sebagian tanah di sekitar Tanjung Bendera.

BORONG, IndonesiaSatu.co -- Suku Roka, pemangku ulayat di wilayah tanah bakal bandara Tanjung Bendera, Kecamatan Kota Kompa siap menghadang langkah Pemerintah Daerah Manggarai Timur (Matim) untuk melakukan pengukuran dan proses sertifikat tanah bermasalah tersebut.

“Kalau Pemda Matim tetap ngotot melakukan pengukuran lahan bakal bandara di Tanjung Bendera, kami selaku pemegang ulayat di wilayah itu siap melakukan “tilang,” tegas Eras Mbae, pemangku ulayat suku Roka.

Sejauh ini, kata Eras, suku Roka tidak pernah diajak sekalipun dalam proses penyerahan tanah bakal bandara tersebut. Sejumlah suku, di antaranya Motu Tujuh Bersaudara (Motu Woe Lima Rhua) secara sepihak menyerahkan tanah seluas 100 ha kepada Pemda Matim tanpa melibatkan suku pemegang ulayat dan itu menyalahi prosedur dan hukum adat setempat.

“Kami kecewa dengan Pemda Matim yang asal tabrak, tidak menggali lebih dalam adat istiadat setempat dan struktur sosial kemasyarakatannya. Saya lihat Pemda Matim mengadu domba orang Rongga untuk menguasai tanah adat di Tanjung Bendera. Ini harus diluruskan, biar aman untuk Pemda Matim dan aman juga untuk masyarakat Rongga,” tambah Eras.

Menurut Eras, pihaknya mengakomodir keinginan Pemda Matim dan suku-suku yang mengklaim sebagai pewaris atas tanah sebagian tanah di sekitar Tanjung Bendera. Namun, proses pembebasannya harus benar secara adat maupun secara hukum dan yang paling penting adalah melibatkan pemegang ulayat di wilayah itu.

Karena itu, Eras meminta agar Pemda Matim meninjau kembali proses pembebasan tanah bakal bandara tersebut dan merajut kembali proses pembebasannya dengan melibatkan suku Roka sebagai pemegang ulayat dan suku-suku lainnya.

“Kami dukung keberadaan bandara, tapi Pemda Matim harus menghargai adat-istiadat dan struktur kekerabatan setempat. Bagi kami orang Rongga, tanah atau wilayah ulayat adalah salah satu “ruang sakral” yang harus dijaga dan dipelihara. Pengabaian terhadap status “ruang sakral” itu akan membawa petaka bagi siapapun yang mengklaimnya tanpa hak. Itu kepercayaan kami. Karena itu, alangkah lebih terhormat jika Pemda Matim meninjau kembali proses pembebasan lahan dan membuka dialog dengan seluruh pemangku kepentingan di wilayah itu,” ujarnya.

Sementara itu Nobertus Nekong, tokoh muda Rongga yang akrab disapa Ramba mengatakan, persoalan tanah bakal bandara itu sebenarnya tidak rumit, jika semua suku di wilayah Rongga mengenal dengan benar asal usul suku dan status sosialnya. Kehadiran pemerintahan kedaluan dan Orde Baru telah merusak tatanan adat lokal, karena adanya manipulasi sejarah. Pada masa itu tidak ada yang bersikap kritis, apalagi melawan, karena takut disiksa. Namun kebenaran tidak bisa dibungkam, cepat atau lambat kebenaran itu akan menampakan dirinya.

Karena itu, Ramba berharap seluruh elemen masyarakat Rongga saling membuka diri, berpegang pada tiga prinsip universal, yaitu kejujuran, berjiwa besar dan keberanian mengubah apa yang salah atau keliru selama ini. Tanpa tiga keutamaan tersebut, orang Rongga akan berkelahi sama sendiri dan dituggangi orang lain.

Ajukan Surat Protes

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, persoalan tanah bakal bandara di Tanjung Bendara mencuat ke permukaan ketika Dinas Pertanahan Matim dan Camat Kota Komba melakukan sosialisasi proses sertifikat tanah bakal bandara di Waelengga, Senin (30/102017). Pertemuan yang nyaris ricuh tersebut akhir dibubarkan tanpa menghasilkan kesepakatan apa-apa. Namun Pemda Matim melalui Dinas Pertanahan tampaknya tetap ngotot melakukan proses sertifikat dengan diam-diam meminta tandatangan dukungan dari rumah ke rumah.

Menanggapi sikap Pemda Matim tersebut, para pihak yang merasa keberatan mengajukan surat protes kepada sejumlah instansi seperti Dinas Pertanahan Matim, BPN Matim, Bupati Matim, Dinas Perhubungan serta Komisi A dan C DPRD Matim pada Rabu (8/11). Surat keberatan pertama dilayangkan oleh Suku Roka. Substansi dari surat tersebut adalah permintaan untuk meninjau kembali proses penyerahan tanah bakal bandara, karena diduga kuat melanggar ketentuan adat dan Undang-undang tentang pengadaan lahan untuk kepentingan publik. Sebagai pemangku ulayat tidak pernah menyerahkan tanah tersebut.

Keberatan serupa juga disampaikan sejumlah klan suku Motu Tujuh Bersaudara yang merasa ditipu oleh Pemda Matim. Petrus Meka dari Motu Pumbu Sambi Nggepo, misalnya, menyatakan kekecewaan terhadap Pemda Matim yang ingkar janji. Dia menarik kembali persetujuaanya. Kekecewaan serupa diungkapkan Kepala Suku Motu Poso, Kasianus Kaja, Kepala Suku Motu Kaju (Leke), Antonius Jaleng dan Kepala Suku Motu Kaju (Wolo Mboro), Petrus Nekong. Mereka menuntut peninjauan kembali proses penyerahan, karena Pemda Matim ingkar janji.

Selanjutnya, Kepala Suku Suka, (keturunan Rato Ame Nggaong), Mateus Weweng sebagai ahli waris penguasa wilayah Manggarai Timur bagian Selatan juga mengajukan surat protes, yang intinya kekecewaan terhadap proses penyerahan tanah bandara yang tidak jujur dan penuh rekayasa. Apalagi dalam proses penyerahan itu tidak melibatkan suku Roka sebagai pemegang ulayat. Dalam surat yang ditujukan kepada beberapa instansi tersebut, suku Suka juga menegaskan, bahwa pemegang ulayat di wilayah Tanjung Bendera adalah suku Roka, bukan suku lain.

Sementara itu politisi senior dan Ketua DPC PDI Perjuangan Matim, Willy Nurdin Bolong yang dihubungi melalui WhatsAp (Kamis, 9/11/2017) menyatakan dukungnya terhadap gerakan suku Roka dan suku-suku lainnya untuk meninjau kembali proses penyerahan tanah bakal bandara Tanjung Bendera. Pemda Matim, katanya, harus menghargai hak ulayat masyarakat setempat. Mereka harus dilibatkan, karena Undang-undang mengakui eksistensi masyarakat adat.

“Jaman ini tidak ada lagi pemaksaan, apalagi perampasan milik rakyat. Kalau itu masih terjadi, ya dilawan. Tidak ada yang kebal hukum. Pemerintah hadir untuk rakyat, bukan menindasnya. Jangan lagi ada adu domba, manipulasi, rekayasa dan spekulasi. Itu gaya lama yang merugikan masyarakat. Saya dukung masyarakat Rongga,” tegasnya.

 

--- Guche Montero

Komentar