Breaking News

OPINI Surat dari Kartini dan Untuk Kartini -- Sebuah Cara Membuatmu Menjadi Feminis dalam Hitungan Detik 21 Apr 2020 13:01

Article image
Raden Ajeng Kartini. (Foto: Voices of Youth)
Jika kau masih ada saat ini, saya ingin memberikan surat padamu dan mengatakan bahwa kehidupan perempuan saat ini belum seratus persen bebas, Tin.

Oleh Adventya Ragat

 

PADA 25 Mei 1899, Raden Ajeng Kartini yang disapa Kartini mengirim sebuah surat pada salah satu sahabat penanya, Estella Zeehandelar di Belanda. Isinya singkat dan mengungkapkan segala amarahnya, keresahan, dan sikap kritisnya terhadap kehidupan anak perempuan Indonesia kala itu akibat terbelenggu tradisi dan konvensi kuno. Pelarangan berpergian ke manapun bahkan keluar rumah sekalipun, tidak terdidik, dan menjalani kehidupan yang begitu tak adil yang sangat menekan Kartini muda untuk mengambil sebuah tindakan memberontak dengan cara emansipasi, pembebasan dari perbudakan.

Ada satu cara yang dipilihnya untuk menyuarakan kegelisahannya itu. Meski nampaknya begitu sederhana di mata kebanyakan orang, tapi bagi saya itu adalah kunci, yang dengan eloknya membuka gembok keterpenjaraan, sehingga para perempuan saat ini, mampu mendapat pendidikan, mampu berdiri dan bersuara tanpa dihakimi dan diperbudak oleh tradisi kuno yang begitu membelenggu. Karena itulah saya menulis hal demikian tanpa takut disiksa, tanpa harus gemetar, dan meneteskan peluh karena ketakutan. Semua itu bahkan hilang dari benak saya, karena saya tahu, saya memiliki hak.

Berangkat dari kata Pramoedya A. Toer, tokoh legendaris dan penulis mahsyur Indonesia bahwa menulis adalah sebuah keberanian, saya menyimpulkan bahwa Kartini berhasil mengeluarkan kaum perempuan dari ketidakadilan, karena ia berani, dan karena ia menulis. Bagaimana seorang Kartini mampu menulis? Apa isi yang bisa dibubuhkan dalam suratnya? Tulisan macam apa yang membuatnya begitu berisi? Semua pertanyaan ini kembali pada satu akar kata yakni baca. Bahkan bangsa terpelajar sekalipun tanpa membaca hanya sebuah titik kecil di galaksi yang tak ada artinya.

Nampaknya membaca dan menulis adalah dua kebiasaan yang menjadi senjata ampuh bagi Kartini untuk menyetarakan kedudukan gender zaman itu di negara ini. Putri dari kelas bangsawan Jawa Priyayi ini sangat terkenal sebagai sosok perempuan yang gemar membaca berbagai buku dan tulisan-tulisan Eropa terkait cara berpikir orang Eropa tentang perempuan yang sangat maju pada masanya hingga akhirnya menimbulkan hasrat dalam dirinya untuk mengemban tugas menyetarakan status sosial perempuan yang masih rendah di kala itu dalam peradaban masyarakat Hindia Belanda yang kini dikenal sebagai Bangsa Indonesia. Bagaimana pun ia merupakan seorang wanita yang sangat kritis, berpikir terbuka, dan memiliki kemampuan menulis serta membaca yang bisa dibilang menjadi tameng agar ia bisa selangkah lebih maju dari perempuan lainnya untuk menjadi pembuka jalan dan penegak keadilan?

Namun, apakah kita, kaum perempuan sudah sepenuhnya keluar dari ketidakadilan?

Ketika saya mendengar dongeng ataupun cerita-cerita warisan leluhur dari orang tua di masa kecil tentang kehidupan para perempuan zaman nenek moyang dahulu, saya menjadi tahu bahwa kaum hawa begitu terkekang, tidak bebas, dan tidak otonom. Mereka hanya bisa memasak di dapur saat para pria membawa pulang hasil buruan, mengurusi anak di dalam rumah, dan tidak terlibat konflik senjata melawan penjajah karena kodratnya yang dianggap lemah. Di Nagekeo, NTT, ketika penjajah ingin mengawini para perempuan pribumi kala itu, di rumah-rumah panggung ada sebuah Sondu (anyaman keranjang berbentuk segi empat besar dengan tutupnya) menjadi tempat persembunyian para perempuan yang ketakutan, agar tidak diambil paksa oleh kaum penjajah. Miris hati saya, lebih parah lagi apabila saya bisa melihat secara langsung kejadian itu. Pastinya kehidupan perempuan pribumi sebelum emansipasi wanita sangatlah terpuruk.

Namun nampaknya tak jauh berbeda keadaan dulu dan sekarang. Pikiran orang orang yang kurang membaca saat ini rupanya lebih bebal dari masyarakat zaman dulu. Kita yang lebih tertarik memberi komentar jahat di sosial media, lebih percaya pada berita hoax, dan menyebarkannya demi kesenangan dan popularitas semata hanya akan menjadi pengungsi masa kini tanpa dikenang di kemudian hari Kartini!

Jika kau masih ada saat ini, saya ingin memberikan surat padamu dan mengatakan bahwa kehidupan perempuan saat ini belum seratus persen bebas, Tin. Dalam satu bis bahkan kereta sekalipun, tubuh kita masih lancang dipegang, kita masih menjadi korban kekerasan, kita masih diperlakukan tak adil dibandingkan dengan saudara laki-laki dalam tugas di rumah, dimarahi karena tidak memasak atau sekadar membereskan rumah, kita masih banyak dilecehkan secara verbal dan non-verbal, kekerasan seksual bahkan dengan bangganya mereka meminta maaf di depan publik, pejuang feminis masih dibuli karena dianggap tidak normal atau menyalahi budaya.

Kita masih diperjual-belikan dalam perdagangan manusia karena kurang diberi kesempatan untuk menuntut ilmu akibat cara berpikir tradisional. Kita, bahkan dalam urusan rumah tangga, masih diharuskan bekerja di dapur, melayani di kasur, dan bertugas di sumur. Tubuh kita masih menjadi objek seksualitas, kita bahkan masih takut dan was-was jika keluar di malam hari karena tindakan pemerkosaan, masih banyak perempuan yang belum sadar untuk setara, masih banyak yang terlena dengan penindasan ini, komen jahat bangsa sendiri yang menyumpahi korban pemerkosaan, menyumpahi yang diberi gelar  “janda”, dan menyumpahi perempuan yang hamil di luar nikah. Pada hal saat perempuan mengalami kondisi terpuruk seperti itu, bukankah kita harus saling mendukung dan tidak menzalimi? Bahkan keperawanan dipermasalahkan sebagai suci atau tidaknya seorang perempuan hingga detik ini. Kita masih belum bebas, Tin. Padahal sejatinya, kita punya otoritas terhadap diri kita, tubuh kita sendiri, namun semua terus menyalahkan para pejuang kesetaraan ini karena orang-orang itu sangat berpegang kuat pada konsep budaya dan nilai luhur yang selama ini dikuasai. Namun, apakah hak perempuan kita dipandang? Tidak, Tin.

Pada hari bermakna ini, saya ingin menyampaikan kepada pembaca budiman, yang mungkin dengan membaca ini akan terlihat geram. Namun, jika kalian tidak pernah berada di posisi yang kupaparkan di atas, jadilah bijak dan penuhi akal budi dengan membaca. Jadilah dan pahami konsep feminis karena dari situlah satu cita-cita mulia gerakan ini dapat terwujud, cukup setara dan adil antar sesama manusia.

Lewat tulisan ini, saya juga turut berterima kasih pada semua pejuang feminis di dunia, advokasi terhadap kesetaraan hak-hak perempuan dalam hal politik, sosial, dan ekonomi. Tanpa kalian, saya tidak akan pernah bisa seperti sekarang, mendapat pendidikan, tampil di depan publik, mengekspresikan sesuatu di atas panggung, menyuarakan setiap opini saya lewat tulisan dan bahkan mengumpulkan penghargaan lewat berbagai kompetisi antara laki-laki dan perempuan karena sudah tidak ada lagi sekat di antara kita. Terima kasih Kartini dan beberapa perempuan hebat masa itu yang mau melawan tradisi kuno yang tak adil dan membuka jalan untuk memperjuangkan kesetaraan.

Kita punya nilai, mutu, dan derajat yang mulia” sebagai pernyataan untuk mendukung gerakan feminis dunia. Dengan pernyataan ini maka perjuangan kaum perempuan belum usai. Masih ada jalan panjang di depan kita. Bagaimana kita mampu mengubah cara berpikir orang bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan setara, sederajat, dan serasi. Tidak ada yang lebih, dan tidak ada yang kurang.

Pembaca yang budiman, bukankah Kartini melakukan suatu perjuangan yang patut diapresiasi dan dikenang? Buku Kartini berjudul Habis Gelap, Terbitlah Terang sangatlah terkenal hingga kini. Dia ingin mengungkapkan bahwa setiap kejadian kelam akan berujung pada kebahagiaan. Sejatinya, masa kelam kaum perempuan saat itu, kini mulai membaik dan seharusnya lebih membaik, bukan? Apakah kau mau menjadi bagian yang menerbitkan terang itu?

Saya bangga dengan perempuan- perempuan hebat yang turun ke dunia politik untuk menyuarakan pendapatnya. Sebut saja, Megawati Soekarnoputri, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, Tri Rismaharini, Najwa Shihab, dll.  Saya harap, bukan hanya satu dua orang saja, tetapi kita semuapun bisa. Saya berharap mereka bukan sekadar mencari elektabilitas semata tapi mampu menyuarakan kegelisahan kaum perempuan yang mungkin belum terjawab sampai sekarang berkaitan dengan kesempatan tampil di ruang-ruang publik yang masih minim.

Berhenti untuk menganggap diri lemah, rendah, dan tak berguna. Berhenti untuk berpikir putus sekolahSaya harap para perempuan yang memilih putus sekolah dapat membaca tulisan ini. Saya hanya ingin menyampaikan kepada kalian, perjuangan kaum perempuan masa itu adalah hadiah besar untuk kita di zaman ini. Raihlah kesempatan mendapat pendidikan setinggi-tingginya agar kita tidak bodoh dan ditindas. Kita harus syukuri itu. Jangan pernah mau diinjak, berusaha untuk mendapatkan apa yang kalian mau, cita-cita, dan impian. Speak Up dan jangan pernah Give Up.

Banyak Hal yang Bisa Menjatuhkanmu. Tapi, Satu-Satunya Hal yang Benar-Benar Dapat Menjatuhkanmu adalah Sikapmu Sendiri (Raden A. Kartini).

 

Penulis adalah seorang Mahasiswi Semester III Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandira Kupang

Komentar