Breaking News

BERITA Tanggapi Insiden 'Telanjang Dada' di Besipae, TPDI: Mereka Memperjuangkan Hak Milik 15 May 2020 00:38

Article image
Gubernur NTT, Viktor Laiskodat sedang naik di atas pagar di kawasan resort peternakan Besipae, Kabupaten TTS saat dihadang oleh aksi protes warga. (Foto: kupang.tribunnews.com)
"Upaya ke ranah hukum, itu keliru. Karena persoalan pokoknya bukan pada aksi 'telanjang dada' oleh para ibu Desa Besipae, tetapi sebaliknya, substansi persoalan yakni hak dan pemilikan tanah," imbuh Petrus.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) turut angkat bicara terkait rencana Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi NTT, Alex Lumba untuk mempidanakan beberapa Ibu dari Desa Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), yang melakukan aksi protes dengan membuka baju (telanjang dada, red) di depan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, rombongan Pemprov NTT
dan Bupati TTS, Egusem Piether Tahun saat mengunjungi kawasan peternakan Besipae, Senin (12/5/20).

Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, kepada media ini, Kamis (14/5/20) mengatakan bahwa insiden 'telanjang dada' dalam aksi protes tersebut bukanlah unsur pornografi.

"Aksi protes dengan 'bertelanjang dada' merupakan upaya terpaksa dalam mempertahankan hak milik mereka (tanah). Sehingga, pilihan untuk dibawa ke ranah hukum (pidana) merupakan opsi yang tidak bijak dan keliru, karena analisisnya kurang komprehensif," sorot Petrus.

Menurut Petrus, Alex Lumba seharusnya menjadi filter terbaik dan terakhir untuk Gubernur NTT dari semua polemik yang berkembang soal aksi 'bertelanjang dada' oleh beberapa Ibu Besipae.

"Alex Lumba seharusnya paham bahwa para ibu itu tidak sedang mengeksploitasi diri mereka dengan gerakan yang erotis (bertelanjang dada) untuk tujuan pornografi sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi," katanya.

Menurut Advokat Peradi ini, aksi para ibu Desa Besipae tersebut harus dipandang sebagai upaya yang sangat terpaksa untuk memperjuangkan kepentingan mereka.

"Aksi protes ini sebagai simbol perlawanan sekaligus pilihan terpaksa untuk mempertahankan hak milik mereka dari upaya pihak lain yang dinilai secara melawan hukum hendak merampas hak-hak atas tanah mereka, termasuk oleh Pemprov NTT sekalipun," nilainya.

Pembelaan Terpaksa (overmacht)

Petrus menjelaskan bahwa dalam hukum pidana dikenal dengan istilah pembelaan darurat atau overmacht, yang hanya dilakukan dalam keadaan di mana seseorang atau lebih dalam keadaan sangat terpaksa untuk membela kehormatan, harga diri dan harta milik (termasuk membunuh lawannya).

"Jadi, dalam konteks aksi 'telanjang dada' oleh ibu-ibu Besipae, tidak serta-merta dikualifikasi sebagai tindakan pornografi sehingga Pejabat Hukum Pemprov hendak melaporkan sebagai tindak pidana pornografi. Ini opsi yang keliru," tegasnya.

Alex Lumba, lanjut dia, harus jeli melihat adegan demi adegan. Menurutnya, jika insiden itu mau dipaksakan menjadi tindak pidana pornografi.

"Lalu, bagaimana dengan posisi Gubernur Viktor Laiskodat saat kakinya dipeluk seorang ibu yang 'bertelanjang dada' dalam posisi berdiri di atas pagar saat hendak lompat masuk ke dalam lokasi; apakah adegan itu yang dimaksud sebagai porno aksi?" sentil Petrus.

Pasalnya, sesuai rekaman video yang beredar, memperlihatkan dengan jelas adegan di mana Gubernur VBL berhenti sejenak saat seorang ibu yang 'bertelanjang dada' memeluk kakinya sebagai upaya mencegah Gubernur yang hendak melompat masuk ke dalam lokasi.

Keluar dari Substansi Persoalan

Menurut Petrus, sebagai Kepala Biro Hukum, Aleks Lumba tidak boleh berpikir pragmatis dalam menilai aksi itu sebagai unsur pornografi dan tindakan pornoaksi, terutama jika niat memproses hukum itu didasarkan pada alasan untuk menakut-nakuti warga Besipae.

"Upaya ke ranah hukum, itu keliru. Karena persoalan pokoknya bukan pada aksi 'telanjang dada' oleh para ibu Desa Besipae, tetapi sebaliknya, substansi persoalan yakni hak dan pemilikan tanah," imbuhnya.

"Upayakan jalan penyelesaian yang bermartabat dengan mengedepankan Hukum Adat setempat, apalagi tindakan 'bertelanjang dada' itu dilakukan dalam keadaan sangat terpaksa, sama sekali tidak bermaksud mengeksploitasi untuk tujuan pornografi dan pornoaksi. Tidak boleh membias dari substansi persoalan yang mereka perjuangkan," lanjutnya.

Petrus berharap agar niat memproses hukum para ibu Besipae yang 'bertelanjang dada' bisa dibatalkan dan dihentikan.

"Proses hukumlah mereka yang merekam, memperbanyak, lalu mengedarkan video rekaman ke publik, itulah yang tepat. Karena yang dilarang oleh UU Pornografi adah perbuatan merekam, mengambil gambar hidup yang bermuatan pornografi. Sementara apa yang dilakukan oleh para ibu Besipae sebagai bentuk protes dalam keadaan overmacht," tandasnya.

--- Guche Montero

Komentar