Breaking News

NASIONAL Tanggapi Masalah TPPO dengan Modus 'Pengantin Pesanan,' Vivat Indonesia: Perlu Penegakan Hukum yang Adil, Cepat dan Transparan 15 Feb 2020 17:13

Article image
Kegiatan diskusi dan advokasi terkait persoalan perdagangan orang dan masalah kemanusiaan oleh berbagai elemen dan organisasi peduli perdagangan orang. (Foto: Dok. VIVAT Indonesia)
"Faktanya praktek kawin kontrak ini berujung pada tindakan kekerasan, intimidasi, eksploitasi seksual dan penelantaran secara ekonomi terhadap korban," sorot Pastor Paul.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus 'pengantin pesanan' kian marak terjadi di Indonesia, terutama di Provinsi Kalimantan Barat dan Jawa Barat.

Pada periode Januari-Juli 2019, Kemenlu RI menangani 32 kasus pengantin pesanan. Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mencatat 20 kasus TPPO dengan modus pengantin pesanan selama setahun.

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebut 29 perempuan Indonesia menjadi korban 'pengantin pesanan' yang diduga terperangkap dalam modus kejahataan TPPO. Dari jumlah itu, 13 perempuan berasal dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, sementara 16 perempuan lainnya berasal dari Jawa Barat. Sedaangkan dua dari 13 perempuan korban TPPO yang berasal dari Kabupaten Sanggau termasuk anak di bawah umur.

Masalah perdagangan orang dengan modus kawin kontrak atau pengantin pesanan terjadi karena berbagai faktor kemiskinan dan kesenjangan ekonomi keluarga dan antar daerah sebagai faktor dominan dan merupakan akar persoalan perdagangan manusia. Selain itu, pendidikan yang rendah, pengetahuan yang minim dan keterbatasan informasi memicu terjadinya kasus TPPO. 

Guna mengetahui persoalan lainnya dalam penanganan masalah perdagangan orang, Vivat Indonesia bekerjasama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menggelar Diskusi Interaktif untuk membedah masalah perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan yang dihadiri oleh beberapa Narasumber, di antaranya adalah KPAI, LPSK, Sub Gugus Tugas TPPO Bareskrim dan Kementrian Luar Negeri.

Dalam siaran pers yang diterima media ini, Jumat (14/2/20), Sekretaris Vivat Indonesia yang juga Ketua Panitia acara,

Suster Geno Amaral, SSpS, mengatakan bahwa acara tersebut dibuat karena keprihatinan terhadap masalah perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan.

"Kegiatan ini merupakan kerjasama jaringan yang terdiri dari 33 organisasi masyarakat sipil, yang terdiri dari berbagai latar belakang profesi mulai dari organisasi keagamaan, organisasi yang bekerja di akar rumput, organisasi nasional dan juga organisasi kemanusiaan lainnya," terang Suster Geno.

Sementara Ketua Vivat Indonesia, Pater Paul Rahmat, SVD mengatakan bahwa masalah perdagangan orang yang terjadi di Indonesia, karena persoalan ekonomi, kebanyakan yang menjadi korban perdagangan orang itu yakni masyarakat miskin, berpendidikan rendah dan minim informasi mengenai dampak dari perdagangan orang.

"Sistem pendataan di kantor imigrasi dan Disdukcapil masih memiliki sejumlah kelemahan. Lemahnya sistem pendataan mengakibatkan terjadinya kasus pemalsuan (mark up) umur sehingga ada sejumlah perempuan yang masih di bawah umur menjadi korban pengantin pesanan. Dua anak di Kalimantan Barat yang berusia 14 dan 16 tahun di 'mark up' umurnya menjadi 24 dan 26 tahun. Mereka rentan menjadi korban TPPO," kata Pater Paul. 

Biarawan dan imam Katolik ini mengatakan bahwa Diskusi ini dilakukan untuk membahas proses penegakan hukum terhadap kasus perdagangan orang yang mengalami kendala sejak proses penyelidikan, penyidikan sampai pada putusan pengadilan yang selalu memutuskan dengan putusan rendah.

"Persoalan lainnya yakni masih banyaknya penggunaan Undang-Undang yang tidak tepat bahkan tumpang-tindih. Aparat penegak hukum juga sepertinya tidak serius atau berlarut-larut menangani kasus pengantin pesanan karena menanggap belum menemukan bukti-bukti pelanggaran hukum atau tindakan yang dikategori sebagai kejahatan, meskipun faktanya praktek kawin kontrak ini berujung pada tindakan kekerasan, intimidasi, eksploitasi seksual dan penelantaran secara ekonomi terhadap korban," sorotnya.

Menurutnya, kawin kontrak antara dua warga negara yang berbeda, di mana masing-masing negara memiliki perspektif dan sistem hukum yang berlainan, justru menambah rumit persoalan.

"Seperti yang terjadi, perkawinan antara warga negara Indonesia asal Kalimantan Barat dengan warga negara Asing asal Tiongkok. Pemerintah Indonesia dan otoritas China menyikapi kasus pengantin pesanan secara berbeda. Otoritas China menganggap permasalahan yang banyak dikeluhkan oleh para WNI, yang menjadi korban kasus pengantin pesanan, sebagai masalah rumah tangga biasa antara suami-istri dengan kewarganegaraan berbeda. Selain itu, pernikahan antara si pemesan dan si pengantin pesanan di negara tersebut dinilai sebagai pernikahan yang sah," bandingnya.

Minim Psikolog dan Advokat

Sementara narasumber dari Komisioner LPSK, Dr. Iur Antonius PS Wibowo dalam presentase materinya mengatakan bahwa korban TPPO dengan modus kawin kontrak masih sulit mendapatkan hak-haknya secara penuh. Selain itu perlu memperkuat SDM para korban dengan melakukan kerjasama dengan Dinas terkait yang ada di daerah.

"Mayoritas yang menjadi korban perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan berlatar belakang pendidikan rendah dan pengangguran. Sejauh ini, LPSK banyak menerima pengaduan pengantin pesanan dengan korban berusia dewasa," terang Wibowo.

Ia menyebut bahwa LPSK memberikan layanan pendampingan psikologis, rehab psikologis dan pendampingan bagi korban saat pemeriksaan. Meski demikian, terdapat kendala dalam pendampingan kasus perdagangan orang.

"Kendala yang ditemui yakni masih sangat minim psikolog dan advokat untuk mendampingi korban saat proses hukum berjalan. Selain itu, peran gugus tugas TPPO masih sangat minim, partisipasi masyarakat juga perlu dtitingkatkan," ujarnya.

Hal senada disampaikan Kementrian Luar Negeri yang diwakili oleh Derian Antonio yang menyebut modus pengantin pesananan karena korban tergiur dengan janji untuk hidup enak, sementara kenyataannya kehidupan para korban pengantin pesanan hidup di bawah rata-rata.

"Sangat berbeda jauh dari yang telah dijanjikan oleh Mak Comblang. Alasan kenapa orang China banyak mencari perempuan di luar negara, karena uang mahar untuk meminang perempuan di negaranya sangat mahal dibandingkan di Indonesia," katanya.

Derian menambahkan bahwa proses hukum pada kasus pengantin pesanan sering mengalami kendala karena terkait dengan tidak terpenuhinya unsur terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

"Hal ini selalu menjadi persoalan saat berkoordinasi dengan kepolisian, karena tidak semua masalah pengantin pesanan itu sebagai masalah perdagangan orang. Ada yang melalui proses yang sadar untuk menikah dengan orang yang dicomblangin oleh Mak Comblang," nilainya.

Di sesi lainnya, Komisioner KPAI Bidang Trafficking, Ibu Ai Maryati, mengatakan bahwa masalah perdagangan orang terjadi karena adanya jeratan hutang yang dialami oleh korban dan keluarga korban.

"Ada beberapa rekomendasi dalam mengakhiri perdagangan orang di Indonesia yakni dengan memperkuat sub gugus tugas antara Pusat dan Daerah, memperkuat kemitraan dengan stakeholder dan melakukan perlindungan optimal untuk anak Indonesia," tandas Maryati.

Hadir dalam Diskusi Interaktif tersebut Lembaga PADMA Indonesia dan berbagai Organisasi serta stakeholders yang peduli dengan masalah perdagangan orang yang berada di Jakarta.

--- Guche Montero

Komentar