INSPIRASI Terima Kasih Sang Pemimpin Rendah Hati yang Purna 30 Jun 2019 10:57
Melacak sejarah kehidupan Eusabius Binsasi ibarat membaca “kisah Presiden Jokowi:” Kisah perjalanan hidup “seorang anak kampung” yang menulis sejarah transformatif dan menginspirasi banyak orang.
Oleh Redem Kono*
TERHARU, bangga, dan berterima kasih. Eusabius Binsasi, Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama Republik Indonesia menyelesaikan tugasnya secara paripurna. Juni tahun ini adalah bulan terakhir pengabdiannya sebagai Dirjen, sebagai birokrat (ASN).
Banyak orang menyebut masa itu; “masa pensiun.” Untuk Eus (sapaan akrabnya), saya menggunakan kata: “purna bakti.” Purna bukan dalam arti “selesai.” Eus salah satu teladan tentang “bakti”, pengabdian yang “purna”, sempurna. Pengabdian yang sempurna.
Eusabius Binsasi, putra kelahiran Kuatnana, kampung terpencil di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) meniti karir dari “yang tidak apa-apa”, hingga dipercayakan sebagai “orang nomor satu yang mengurus kepentingan Katolik” di bidang pemerintahan. Melacak sejarah kehidupan Eus ibarat membaca “kisah Presiden Jokowi:” Kisah perjalanan hidup “seorang anak kampung” yang menulis sejarah transformatif dan menginspirasi banyak orang.
“Apa yang saya alami dalam kehidupan ini semata-kata karena kasih dan penyertaan Tuhan,” katanya ketika ditanya tentang kisah kehidupannya. Banyak kali bercerita. Saya paham: tidak sesederhana itu jawabannya. Kalau saya boleh menyimpulkan: ia menghargai kasih dan penyertaan Tuhan melalui kerja (pelayanan) yang rendah hati, tulus, jujur, dan berempati.
Anak kampung
Sebagaimana pernah ditulis HIDUP (2014), Eus lahir sebagai anak pertama dari sepuluh bersaudara dalam keluarga yang amat sederhana. Sang ayah berprofesi sebagai seorang guru. Pendidikannya kebanyakan di sekolah calon imam: Seminari Menengah St Immaculata Lalian, dan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Ia pernah berniat menjadi imam, tetapi memutuskan berhenti, karena penilaiannya bahwa tanggung jawab seorang imam sangat besar.
Tamat dari kuliah, Eus mengikuti seleksi pegawai negeri sipil (PNS). Ia diterima sebagai PNS di kantor Kemenag Kabupaten Kefamenanu, Timor Tengah Utara, NTT. Pada 1992, Eus dimutasi menjadi guru di sebuah sekolah kejuruan di Kefamenanu.
“Pada saat itu, saya sempat berpikir, guru adalah awal sekaligus akhir pekerjaan saya,” kenangnya.
Perkiraannya meleset. Dua tahun berselang, Eus berhenti menjadi guru. Ia mendapat mandat baru sebagai Kepala Sub Bagian Tata Usaha Kantor Kemenag Kabupaten Timor Tengah Utara. Tahun demi tahun, Eus meniti karir dan berkarya dalam beberapa posisi yang penting di Provinsi NTT. Sebelum terpilih sebagai Dirjen Bimas Katolik, ia menjabat Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi NTT. Hingga ia menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik Kementerian Agama (2014-2019).
Pada Kamis, 10 April 2014, Eus dilantik bersama Dirjen Bimas Kristen Oditha Rintana Hutabarat, Dirjen Bimas Budha Dasikin, serta Nur Syam yang terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI.
Suami Susana Binsasi Sarumaha ini tak pernah menyangka akan menjadi Dirjen Bimas Katolik. Sehari sebelum pelantikan ia hanya diberi tahu melalui telepon. Ia diminta datang ke kantor Kemenag di Jakarta dengan membawa pakaian sipil lengkap.
“Saat itu, saya tidak tahu ada urusan apa. Sebelumnya, juga tidak ada kabar mengenai pelantikan Dirjen. Saat disuruh datang, ya saya hanya datang,” kisahnya.
Saat tiba di kantor Kemenag di Jakarta, Eus terkejut. Ia diberi Surat Keputusan yang menugaskannya berkarya sebagai Dirjen Bimas Katolik. Saat itu ia pasrah. Eus, yang kala itu masih menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi NTT, tetapi menyerahkan kepada Tuhan.
“Saya selalu siap untuk setiap tugas yang diberikan. Saya tidak sendirian. Tuhan selalu menyertai,” katanya yakin.
Pemimpin yang bekerja
Eus memulai dari awal. Belum pernah bekerja dan menetap di Jakarta. Namun awal yang biasa hanya merupakan pijakan untuk lompatan yang besar. Pada awal menjabat (2014), terdapat 13 Sekolah Menengah Agama Katolik (SMAK) dan 18 Sekolah Tinggi Pastoral sudah ada 13 SMAK. Sekolah Menengah Agama Katolik (SMAK), adalah satuan pendidikan formal setara Sekolah Menengah Atas (SMA) yang mengintegrasikan mata pelajaran keagamaan Katolik dan mata pelajaran umum. Hanya dalam satu empat tahun, ia menduplikasinya sebanyak 33 SMAK (per Januari 2019). Bahkan 3 SMAK telah dinegerikan.
Selain itu, dari tangan dingin Eus, 50 PAUD Taman Seminari dibangun di seluruh Indonesia. Sekolah Tinggi Keagamaan Katolik melonjak sebanyak 22. Sekolah Tinggi ini sudah satu yang menjadi negeri, yakni Sekolah Tinggi St.Paulus Ruteng menjadi Universitas Katolik Indonesia, Ruteng (2019). Pada akhir dari jabatannya, Eus juga berhasil mendorong program S3 Teologi di Keuskupan Malang.
Pencapaian lain Eus adalah memperjuangkan Badan Amal Kasih Katolik (Bakat), serta pendapatan lembaga keagamaan Katolik sebagai lembaga keagamaan yang berbadan hukum. Namun, salah satu kemampuan manajerial Eus tampak secara eksplisit ketika menggelar Pesperani Katolik I di Ambon pada 2017. Meskipun Pesparani Katolik Nasional baru pertama kali diadakan di Indonesia, kegiatan ini telah dipersiapkan dengan baik dengan dukungan dari pemerintah melalui Kementerian Agama.
Pesparani Katolik Nasional I diselenggarakan mulai 27 Oktober hingga 2 November 2017 di Ambon. Ada 12 kategori yang dilombakan dalam Pesparani Katolik Nasional I antara lain Paduan Suara Dewasa Campuran, Paduan Suara Dewasa Pria, Paduan Suara Dewasa Wanita, Paduan Suara Gregorian Dewasa, Paduan Suara Gregorian Anak dan Remaja dan Paduan Suara Anak.
Secara keseluruhan, lebih dari 7.000 anggota paduan suara – anak-anak, remaja dan dewasa – berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Peserta datang dari 32 provinsi seluruh Indonesia. Pesperani II akan diadakan di Kupang, NTT tahun 2020.
Saya amati, selama menjabat Dirjen Bimas, Eus hadir di mana-mana. Bukan ingin menampilkan diri. Tetapi itulah salah satu cirinya sebagai pemimpin: pemimpin yang hadir, menyapa, dan menunjukkan “spirit” Katolik di mana-mana. Bahwa Katolik adalah bagian tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Katolik memiliki kontribusi sejarah yang penting bagi NKRI dan Pancasila.
Eus gemar melakukan “blusukan.” Ia bukan “pemimpin belakang meja.” Dalam sebulan ia hampir selalu turun mengunjungi Bimas Katolik di daerah-daerah seluruh Indonesia. Tidak hanya hadir ia menjaring aspirasi dari daerah. Ia juga menjalin silaturahmi yang akrab dan ramah dengan hirarki Gereja, mulai dari Konferensi Wali Gereja (KWI), para Uskup, para suster, para pastor, dan umat. Berbagai acara dihadirinya (acara Katolik maupun non-Katolik), untuk menunjukkan bahwa menjadi Katolik: menjadi universal, yakni beragama yang menembus batas-batas perbedaan, menunjukkan nilai-nilai Injil ke mana pun berada.
Dua minggu sebelum purnabakti. Eus menyempatkan diri mengunjungi umat Katolik di Provinsi Gorontalo. Gorontalo, provinsi berpenduduk 1.168.190 jiwa itu hanya memiliki satu Paroki. Akibatnya pelayanan rohani di enam kabupaten tidak merata. Umat Katolik yang tersebar, tidak mendapatkan pelayanan maksimal.
“Maka atas bantuan/intervensi dari Bimas Katolik, dibuka lagi satu Paroki. Saya hadir dan menyaksikan sendiri. Terharu karena sudah lama umat merindukan kehadiran Gereja Katolik. Saya tidak membawa apa-apa. Tetapi saya yakin mereka senang, karena saudara seiman menunjungi mereka,” kisahnya.
Eus, contoh pemimpin yang menunjukkan keteladanan nilai. The real leader by example, not just by edict. Ia melakukan kerja keras, kerja cerdas, kerja tulus, dan kerja tuntas. Semunya dilakukan dalam semangat rendah hati dan penuh disiplin. Salah satu contoh sederhana: meskipun punya seabrek kegiatan, ia selalu hadir lebih cepat dari jadwal yang ditentukan. Tidak bicara hidup disiplin, melakukan disiplin. Tidak bicara hidup sederhana, melakukan hidup sederhana. Tidak bicara rendah hati, rendah hati dalam berkata dan bersikap, tidak hanya cakap berbicara, tetapi bekerja keras. Ia selalu siap melayani, bagi siapapun yang butuh keteladanan.
Saya pernah membaca tipikal kepemimpinan seperti ini, yang diperkenalkan oleh Robert Greenleaf pada 1970. Greenleaf menyebutnya model “kepemimpinan yang melayani” (servant leadership). Syarat seorang pemimpin pertama-tama adalah kemauannya untuk melayani orang lain, bukan memerintah orang lain. Pemimpin tidak terbatas pada tugas instruksional, tetapi memberi dirinya secara total kepada organisasi yang dipimpinnya.
Menurut Lary Spears, model kepemimpinan Greenleaf memiliki 10 karakter: pemimpin yang mendengarkan, berempati, optimis, memiliki kesadaran diri, persuasif, cerdas melakukan konseptualisasi, visioner, kapabel untuk melayani, mau memberdayakan orang lain dan membangun komunitas.
Eus memiliki karakter-karakter itu. Apa kuncinya? Jawabannya sederhana: sikap rendah hatinya untuk mau belajar, mengantarnya pada pengetahuan dan keterampilan yang baru. Sikap rendah hati juga mengundang banyak orang untuk melengkapi, sehinga terjadi kerja sama kolaboratif mencapai tujuan yang diharapkan.
Saya punya pengalaman pribadi: Tidak hanya rendah hati, Eus pribadi yang jujur. Ia bekerja rapi, jauh dari pemberitaan media-salah satu ciri khasnya. Sebagai saksi pernikahan saya pada 2017, kami sering bertemu, namun tidak pernah terlontar dari mulutnya untuk mengatakan: “Kamu orang dekat saya, jadi bisa masuk ke kementerian atau kerja di kenalan saya.” Ia malah mengharapkan saya (dan saya juga setiap anak muda) untuk mandiri, lebih maju dari keadaan sekarang, berani menyongsong tantangan-tentangan kehidupan.
“Jadilah dirimu sendiri. Tuhan melengkapinya,” katanya.
“Terima kasih Bapak Eus. Terima kasih atas teladan kepemimpinan yang telah ditunjukkan. Pengabdian yang amat purnabakti. Saya yakin, banyak orang yang berharap, Bapak Eus dalam usia yang berusia 60 tahun, membuka dan dibuka kesempatan untuk menjajal medan kepemimpinan baru, misalnya menjadi pemimpin daerah. Kami masih mengharapkan teladan dan kerja keras Bapak.”
*Penulis adalah Redpel IndonesiaSatu.co, Dosen di Kwik Kian Gie School of Business dan Kalbis Institute
Komentar