Breaking News

REGIONAL Terkait Kasus di Seminari BSB, Petrus Selestinus: Dunia Pendidikan Alami Krisis Metodologi 29 Feb 2020 11:53

Article image
Suasana rapat para orang tua siswa dengan pimpinan Seminari BSB Maumere. (Foto: Kompas.com)
"Ini bukan sebuah insiden yang berdiri sendiri, akan tetapi dampak dari sebuah metode yang salah," sorot Petrus.

MAUMERE, IndonesiaSatu.co-- Peristiwa penghukuman terhadap 77 siswa Kelas VII Seminari Menengah Maria Bunda Segala Bangsa (BSB) di Maumere, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu (19/2/2020) lalu, mendapat sorotan dan kecaman dari berbagai pihak.

Pasalnya, ke-77 siswa tersebut mendapat perlakuan yang tidak manusiawi oleh kakak kelasnya yang dikenal dengan sebutan socius (kakak pembina) karena dihukum memakan kotoran manusia di salah satu ruang kelas sekolah itu.

"Pimpinan Seminari BSB Maumere tidak cukup hanya meminta maaf kepada orang tua siswa yang menjadi korban dari tindakan tidak manusiawi seniornya itu. Ini pertanda dunia pendidikan mengalami krisis peradaban (adab manusia) yang sudah melanda sekolah-sekolah yang justru akan melahirkan calon pemimpin umat," ungkap Petrus Selestinus yang mengaku sebagai salah satu sesepuh asal Sikka melalui keterangannya kepada media ini, Jumat (28/2/2020).

Menurut Petrus, tindakan oknum senior, jelas merupakan perilaku tidak beradab dan dapat dikualifikasi sebagai Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya sendiri.

"Aparat Kepolisian harus mengusut. Ini pertanda bahwa dunia pendidikan kita sedang menghadapi krisis metodologi sehingga yang sering muncul adalah perilaku kekerasan fisik atau verbal dari yang merasa sebagai 'raja-raja kecil' terhadap yunior, atau dapat juga disebut praktek memeras pengakuan untuk mendapatkan sikap jujur," katanya.

Pengawasan Ketat

Petrus yang juga Advokat Peradi ini mengatakan bahwa terhadap kejadian tersebut, pihak Sekolah harus meningkatkan pengawasan, mengubah metode pengawasan dan jangan memberikan pengawasan dan pembinaan itu kepada sesama anak murid yang berpotensi akan selalu muncul perasaan senioritas, arogansi bahkan feodalisme terhadap yunior yang terus berkembang dalam lembaga pendidikan tersebut.

Petrus juga menilai bahwa ide untuk memindahkan pelaku ke Sekolah lain merupakan ide yang keliru, karena karakter pelaku sudah terbentuk sehingga dikhawatirkan perilaku biadab ini akan terjadi lagi di tempat lain.

"Langkah terbaik yakni serahkan pelaku kepada aparat penegak hukum untuk diproses hukum guna mendapatkan efek jera," nilainya.

Pihak Sekolah, lanjut dia, harus membuka saluran informasi bagi anak murid kepada pimpinan sekolah sehingga ketika ada insiden di dalam sekolah mudah dikontrol. Kalau hanya sekedar melapor kepada Pimpinan Sekolah saja siswa tidak berani, berarti ada yang salah dengan metode pembinaan, karena telah melahirkan sikap pasrah, munafik dan tidak punya mental petarung pada siswa.

"Kondisi di mana tidak ada satupun siswa yang berani melapor kepada Kepala Sekolah atau Guru lainnya atas peristiwa memasukkan kotoran ke mulut 77 siswa, itu berarti suasana yang mencekam dalam kehidupan sehari-hari di Seminari BSB sudah terjadi menahun. Ada kondisi tidak ceria atau rileks dalam relasi antara Pimpinan Sekolah, Guru atau Pimpinan Asrama dengan Anak murid di lingkungam Sekolah. Dengan kata lain, suasana ceria dan rileks yang ada hanyalah semu atau kamuflase," nilai Koordinator TPDI ini.

Petrus menyayangkan bahwa ke-77 siswa dari 89 siswa yang mengalami siksaan oleh dua orang seniornya, tidak ada satupun yang berani bersuara meskipun sekedar untuk curhat kepada Guru atau Kepala Sekolahnya.

"Dapat dibayangkan jika sekolah untuk calon pemimpin umat telah membangun karakter anak didiknya dengan metode menebar ketakutan dan intimidasi secara sistematis di dalam sebuah lembaga pendidikan. Karena dampaknya adalah melahirkan ketakutan dan kecemasan permanen dalam diri siswa," katanya.

Ini berarti, tandas dia, ke-77 siswa itu sudah terpapar ketakutan dan kecemasan yang permanen.

"Apakah kita ingin Seminari MBSB melahirkan 77 calon pemimpin umat yang tidak memiliki mental sebagai petarung? Ini bukan sebuah insiden yang berdiri sendiri, akan tetapi dampak dari sebuah metode yang salah," tutupnya.

--- Guche Montero

Komentar