Breaking News

HUKUM TPDI Desak Kapolda NTT Copot Kapolres Sikka 29 Jul 2020 19:52

Article image
Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP). (Foto: Ist)
"Kapolda NTT harus mencopot AKBP Sajimin dari jabatan Kapolres Sikka, karena digua terpapar intoleransi dan radikalisme di Sikka," desak Petrus.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mendesak Kapolda NTT mencopot AKBP Sajimin dari jabatan sebagai Kapolres Sikka.

Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, dalam rilis kepada media ini, Selasa (28/7/20) menegaskan bahwa desakan pencopotan itu karena diduga terpapar intoleransi dan radikalisme di Sikka.

"Kapolda NTT harus mencopot AKBP Sajimin dari jabatan Kapolres Sikka, karena digua terpapar intoleransi dan radikalisme di Sikka," desak Petrus.

Petrus menerangkan bahwa berita tentang berkembangnya benih-benih radikalisme melalui jaringan para mantan pengurus dan anggota organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Kupang, NTT, bukanlah isu melainkan fakta.

Pasalnya, keberadaan HTI di NTT secara real diakui bahkan pernah akan menggelar pawai di Kota Kupang pada 16 Mei 2015 lalu, namun Polda NTT, GP Ansor dan MUI NTT menyatakan menolak rencana pawai HTI di Kota Kupang tersebut.

"Kita belum tahu persis kapan ormas terlarang HTI atau ormas radikal sejenis masuk di NTT. Begitu pula dengan ormas radikal lainnya seperti Khilafatul Muslimin (KM), sebuah gerakan radikal embrio dari NII yang disebut-sebut masuk di Labuan Bajo, sejak tahun 2000-an dan melakukan aktivitas keagamaan, dakwah dan sosial kemasyarakatan lainnya hingga berkembang terus sampai saat ini," kata Petrus.

Aktivitas HTI di NTT, lanjut dia, sebagaimana dikonstatir oleh Kepala Badan Intelijen Daerah (KABINDA) NTT, beberapa tahun lalu pasca status Badan Hukum HTI dicabut oleh Kementerian Hukum dan HAM RI, masih terus berjalan, meski dilakukan oleh para mantan pengurus HTI di NTT dan di tempat lain, meski tidak lagi memiliki status Berbadan Hukum atau telah dibubarkan.

Memperkuat Kelompok Intoleran dan Radikal

Petrus mengatakan bahwa pada Mei 2020 yang lalu, telah muncul sikap membangkang secara terbuka dan berani oleh sekelompok warga Muslim di Nangahale terhadap Tim Gabungan TNI-Polri dalam Satgas Covid-19 Sikka, saat meminta warga Muslim tidak melaksanakan sholat dan taraweh berjamaah, demi menegakkan Hukum Negara atau ketentuan Protokol Covid-19 sebagai hukum positif negara.

Menurut Advokat Peradi ini, sikap bangkang sekelompok warga Muslim Nangahale dimaksud adalah berupa penolakan terhadap perimintaan Tim Gabungan TNI-Polri Satgas Covid-19 untuk tidak dilakukan Sholat dan Tarawih berjamaah karena mereka hanya mau tunduk pada perintah Allah sesuai Hukum Syariah. 

"Ini jelas sama dengan sikap telah menegakkan Hukum Syariah dan menolak Hukum Negara. Inilah sikap intoleran dan radikal yang identik dengan prinsip Syariah HTI," sebutnya.

Petrus menimpali alasan mengapa Kapolres Sikka, AKBP Sajimin tidak mengambil langkah tegas berupa penindakan (Penyelidikan dan Penyidikan) terhadap sekelompok warga Muslim Nangahale dan dengan kaca mata kuda melihat peristiwa penolakan warga Muslim Nangahale terhadap Tim Gabungan Satgas Covid-19 sebagai peristiwa biasa dan tanpa mengatakan Sikka tidak ada HTI dan radikalisme.

"Bukankah sikap sekelompok Warga Muslim Nangahale, sebagai telah membuat dikotomi dengan menghadapkan Hukum Syariah dan Hukum Negara lalu memilih hanya patuh kepada Hukum Syariah sebagai perintah Allah. Padahal sikap demikian sama persis dengan sikap HTI dalam memperjuangkan tegaknya Khilafah dan Hukumnya adalah menegakan Hukum Syariah di Indonesia," sorotnya.

Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) ini menilai bahwa Kapolres Sikka telah menututp-nutupi perisitiwa sekelompok warga Muslim di Nangahale yang telah nyata bersikap intoleran dan iadikal. 

"Hal ini menimbulkan kecurigaan publik Sikka; jangan-jangan Kapolres Sikka AKBP Sajimin-pun telah terpapar intoleransi dan radikalisme. Karena itu, AKBP Sajimin sangat tidak layak dipertahankan sebagai Kapolres Sikka di tengah situasi Sikka yang tidak kondusif akibat intoleransi dan radikalisme," desaknya.

Menurutnya, dampak sikap lunak Kapolres Sikka tidak hanya menurunkan wibawa dan kehormatan Tim Gabungan TNI-Polri dalam Satgas Covid-19 Sikka yang sedang menegakkan Hukum Negara, akan tetapi juga telah menurunkan kehormatan Negara dan Kedaulatannya serta harga diri Bangsa, karena membiarkan ada sekelompok warga di Nangahale menegakan Hukum Syariah dan menolak Hukum Negara Pancasila.

Kapolda NTT Harus Copot Kapolres Sikka

Pernyataan Kapolres Sikka AKBP Sajimin di hadapan lara lemuda lintas OKP Sikka (PMKRI, GMNI, KNPI, GP ANSOR, PP, PEMUDA Katolik) pada tanggal 16 Juli 2020, bahwa hingga saat ini pihaknya belum menemukan adanya dugaan HTI atau paham Radikal di Sikka, sungguh merupakan pernyataan tidak jujur dan tidak bertangung jawab.

"Betapa Kapolres Sikka tidak memiliki kepekaan melihat realitas sosial yakni intoleransi dan radikalisme yang sedang berkembang di Sikka," imbuhnya.

Petrus beralasan, sikap Kapolres Sikka yang menganggap rentetan sejumlah kejadian pembangkangan warga sebagai peristiwa biasa atau sebagai perilaku yang legal, berpotensi melahirkan konflik horizontal yang maha hebat, karena terbukti membiarkan ketidakpatuhan sekelompok warga terhadap Hukum Negara dan Alat Kekuasaan Negara yang sah, hanya karena mereka memilih Hukum Syariah.

"Apalagi sikap lunak Kapolres Sikka terhadap sejumlah kasus peredaran secara ilegal bahan peledak berlabel Pupuk Cap Matahari, diperjualbelikan di kalangan para Nelayan di Sikka, di tengah munculnya benih-benih radikalisme, semakin melahirkan tanda tanya ada koneksi apa antara Kapolres Sikka Sajimin dengan situasi ini?," tandasnya.

--- Guche Montero

Komentar