TAJUK Pengarang Telah Mati? 30 Mar 2017 09:30

Konsekuensi kematian pengarang adalah kelahiran pembaca.
DALAM sebuah buku berjudul The Death of the Author (1967), Roland Barthes menulis sebuah kalimat singkat yang terkenal: Pengarang telah mati.
Barthes mengatakan: Pengarang seharusnya menghilang di dalam teks, untuk kemudian lenyap. Ketika pembaca mengeja teks, ia tidak lagi menemukan jejak pengarang. Pengarang menghalangi jarak pandang pembaca ke teks. Kehadiran pengarang justru telah membuat kita tidak menyingkap makna orisinalitas teks.
Tentu teks tidak terbatas pada tulisan dalam buku-buku, koran atau media. Teks tidak sebatas huruf-huruf. Hidup kita sehari-hari adalah teks. Kita adalah teks. Sebagai teks, perilaku kita entah dalam tataran personal maupun dalam masyarakat sosial harus adalah teks yang terbuka untuk dibaca oleh siapapun.
Dalam konteks ini, manusia dengan segala kediriannya adalah teks. Sebagai teks, manusia, dalam pengertian Barthes, harus membiarkan dirinya dibaca oleh yang lain. Sebagai pengarang atas diri, kehadiran setiap orang bersifat multitafsir di hadapan yang lainnya. Tubuh dan pikiran kita bebas dibaca oleh pembaca yang lainya.
Untuk itulah kita mengerti mengapa orang merasa perlu menggiring pembacaan atas dirinya. Maka ia berusaha membangun secara sengaja teks kehidupannya sendiri. Seorang calon gubernur, misalnya, hendak membangun hidupnya yang menampakkan kesan kesantunan dan pro kebhinekaan. Padahal dalam hidup orisinalnya tidak seperti itu. Ia hanya berpura-pura santun. Ia haus kekuasaan.
Maka, kita dapat katakan, calon gubernur tersebut bukan pengarang yang mati, tetapi pengarang yang totaliter. Ia hendak menguasai penafsiran para pembaca dengan menyodorkan citra seolah-olah. Di titik ini, ia membantah sendiri komitmennya untuk menegakkan kebhinekaan. Ia pengarang yang angkuh karena berusaha meniadakan kehadiran para pembaca.
Namun, pengarang yang angkuh tidak pernah menyadari bahwa pembaca memiliki kekuatan senjata rasional. Akal sehat dan nurani akan menciptakan celah dan menembus kubah citra yang selama ini disembunyikannya rapat. Pada akhirnya pengarang yang angkuh akan menemui ajalnya dalam nurani yang rasional.
Hiduplah apa adanya. Jadilah pengarang atas hidup kita yang orisinal. Kita yang rendah hati mengundang para pembaca menafsir teks kehidupan kita pada saat serentak saling memperkaya. Pertukaran teks kehidupan membuat kita disatukan dalam komunitas imajinasi yang meneguhkan dan mempersatukan.
Konsekuensi kematian pengarang adalah kelahiran pembaca.
Salam Redaksi IndonesiaSatu.co
Komentar